A Flavour of Life

Beranda » serial » Beauty Loves The Beast: part 9

Beauty Loves The Beast: part 9

Keesokan harinya, Yukino memberanikan diri untuk berkeliling mencari Akkun dan Icchan, walau harus menghadapi tatapan tak menyenangkan dari sekelilingnya.

“Oh!” Akkun-lah yang pertama melihat Yukino. Ia terlihat sedang berbicara dengan beberapa anak lainnya melalui jendela di sebuah kelas. Yukino melirik papan nama ruang kelas itu. Ternyata ia juga kelas 4, kalau begitu ia tidak mungkin tidak tahu soal Yukino…

“Hei, ada perlu apa?” tanya Akkun ramah setelah ia keluar ruang kelas, dan hendak berjalan menghampiri Yukino, tapi… “Hei, kau tak perlu ke sana,” tiba-tiba salah seorang dari anak yang sedang berbicara dengannya tadi, menghentikannya. Akkun memandang mereka tak mengerti, “Huh? Apa maksudmu?” gumamnya. Tapi ia tetap melangkah menghampiri Yukino.

Saat sampai di depan Yukino, Akkun menyadari tatapan takut dan awas Yukino padanya. Ia semakin tak mengerti. Lalu ia melihat tatapan itu beralih darinya ke teman-temannya, dan berubah menjadi tatapan yang jauh lebih gelap. Akkun terkejut melihatnya. Apa itu… tatapan benci? Dendam?

“I-ini!” Yukino tiba-tiba menyodorkan sesuatu. Sebuah kantong kertas kecil.

“Eh?” Akkun masih bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi. Hanya itu reaksi yang bisa ia berikan, saat Yukino langsung berlari meninggalkannya begitu menyerahkan kantong itu.

“Apa-apa itu tadi?” gumam Akkun pada diri sendiri. Ia mendengar tawa mengejek dari arah teman-temannya. “Seperti biasa, tatapannya menyeramkan seperti nenek sihir,” kata salah satu anak. “Hei, awas, nanti kau bisa dikutuk lho!” timpal yang lainnya.

Akkun kembali terkejut. Jangan-jangan anak perempuan itu benar-benar…?

[***]

Siang itu, Yukino makan siang di bawah meja di ruang PPK lagi. Tempat itu tidak digunakan kecuali saat pelajaran PKK. Jadi Yukino bisa tenang berada di sana.

Waktu jeda pelajaran tadi, ia mengembalikan saputangan Akkun yang sudah ia cuci bersih, dan saat itu Akkun sedang bersama dengan anak-anak yang pernah menertawakannya. Ia ingat wajah mereka semua walau Yukino berusaha untuk melupakannya. Keputusannya untuk mengembalikannya mungkin keputusan yang tepat. Dengan begini, ia tak berhutang padanya dan tak akan berhubungan dengannya lagi. Semua sudah selesai.

Tiba-tiba Yukino merasakan dorongan yang amat sangat untuk menangis. Entah mengapa ia merasa sangat sedih. Mungkin ini karena ia tahu, jika begini terus ia tak akan bisa bertahan lagi. Ia akan hancur tak bersisa…

“Hei! Syukurlah, ternyata kamu memang disini.”

Yukino membatu.

“Hei, ada apa? Kamu menangis lagi?”

Yukino perlahan mengangkat wajahnya. Apa ia salah dengar?

“Kamu gak apa-apa?” Akkun sedang berlutut di depannya, ia terlihat agak khawatir.

Yukino tak bisa berkata apa-apa selama beberapa saat. Melihat Yukino yang seperti itu, Akkun tertawa, “Reaksimu sama persis seperti kemarin.”

“Ke-kenapa…?” tanya Yukino tergagap saat ia menemukan suaranya kembali.

“Ah, aku mau berterima kasih karena kamu sudah mengembalikan ini, bahkan kamu sampai mencucinya. Terima kasih, ya,” katanya sambil menunjukkan saputangan yang Yukino kembalikan dan tersenyum.

Yukino kembali dibuat tak bisa berkata-kata. Tak ada yang pernah berterima kasih padanya sebelumnya. Tanpa sadar ia lagi-lagi mempertanyakan hal yang baru saja terjadi. Apa ini nyata? Apa anak laki-laki yang sedang tersenyum di depannya ini benar-benar nyata? Apa kata-kata yang ia ucapkan tadi juga nyata? Apa Yukino benar-benar tidak sedang bermimpi saat ini?

“Kenapa kamu diam saja? Haloo?” tanya Akkun sambil mengibaskan tangannya di depan wajah Yukino. Ia menggaruk-garuk kepalanya kebingungan melihat Yukino yang tak juga bereaksi. Kemudian ia mengulurkan tangannya pada Yukino. “Oh, ya. Aku belum tahu namamu. Siapa namamu?” tanyanya sambil tersenyum ramah.

Yukino memandang tangan Akkun selama beberapa saat. “Ke-kenapa ka-kamu mau tahu na-namaku?” tanya Yukino dengan suara yang amat kecil.

“’Kenapa’? Tentu saja karena aku ingin berteman denganmu.”

Yukino mengernyitkan alisnya. “Ke-kenapa kau ingin berteman denganku?”

“Huh? Memangnya perlu alasan kalau ingin berteman dengan seseorang?”

Yukino tercengang. “Ka-kamu… benar-benar tak tahu siapa aku?” tanya Yukino dengan suara yang mulai meninggi.

“Tidak, tidak tahu. Tapi kalau kita sudah berteman, aku akan tahu tentangmu,” jawab Akkun polos.

Yukino tak bisa membalas ucapannya. Ia hanya memandangnya tak percaya. Lagi-lagi ia kehilangan kata-kata.

“Nah, jadi siapa namamu?” tanya Akkun lagi, tangannya masih terulur pada Yukino.

Yukino terdiam beberapa saat. Lalu perlahan, dengan tangan yang agak gemetar, ia menjabat tangan Akkun dan berkata, “Yu-Yukino, Yukino Kisaragi.”

Akkun pun menyambut tangan Yukino dengan menggenggamnya erat, yang otomatis membuat Yukino terkejut. “Aku Akito, Akito Yoshikawa,” katanya riang dengan senyum secerah matahari mengembang di wajahnya.

[***]

Yukino berjalan cepat menyusuri koridor. Ia sudah terlambat untuk janji makan siang bersama di atap sekolah. Senyum Yukino mengembang seraya ia mempercepat langkahnya. Ini benar-benar sulit dipercaya. Ia akhirnya punya teman. Bahkan sudah hampir seminggu ini, ia makan siang bersama mereka. Rasanya benar-benar menyenangkan. Tak pernah Yukino membayangkan jika memiliki teman itu rasanya sangat menyenangkan seperti ini. Mereka mengobrol tentang banyak hal, bahkan sampai ke hal-hal konyol, juga saling bercanda dan tertawa bersama. Sekolah pun sekarang terlihat seperti tempat yang seratus kali lebih baik daripada sebelumnya.

Yukino benar-benar hanyut dalam pikirannnya sendiri, hingga ia tak sadar jika beberapa anak telah menunggunya. Begitu Yukino hendak melewati mereka, anak-anak tersebut langsung mencegat Yukino. Yukino terkejut dan menabrak salah seorang anak yang berdiri paling depan, hingga kotak bekalnya terjatuh.

“Hei-hei, kalau jalan lihat ke depan. Lagipula, mau ke mana kamu buru-buru begitu?” kata anak yang ditabrak Yukino dengan nada mengejek. Ia dan dua anak lainnya yang ada di sana adalah anak-anak nakal yang selalu mem-bully Yukino.

Yukino langsung merinding. Tidak ada siapa pun di sekitar mereka. Yukino sendirian. Dengan cepat ia membungkuk, hendak mengambil kotak bekalnya. Tapi anak-anak itu tak membiarkannya. Anak yang paling depan menendang kotak bekal itu ke belakang, lalu salah satu anak di belakangnya mengambilnya.

“Sepertinya kamu punya teman main baru, ya? Kamu gak lupa pada kami, kan?” katanya sambil menyunggingkan senyum mengejek.

Yukino melangkah mundur. Ia mulai gemetaran. Bagaimana ini? Apa yang sebaiknya ia lakukan? Haruskah ia berbalik meninggalkan tempat ini? Atau haruskah ia berlari menerobos mereka menuju ke atap sekolah dimana temannya menunggu?

“Ada apa? Kenapa kamu diam saja? Bagaimana jika sesekali kamu main dengan kami lagi? Kami sedikit kesepian, lho. Oh, iya. Bagaimana kalau kita mulai main sekarang saja? Pasti menyenangkan,” lanjut anak yang berdiri paling depan.

Tidak, terlalu beresiko jika menerobos, sebaiknya ia segera berbalik dan lari dari sini. Benar, lari.. Cepat… Lari…

“Hoi! Apa yang kalian lakukan?”

Mereka semua serentak menoleh ke arah asal suara keras yang tiba-tiba terdengar. Dari sana, Akito dan Icchan terlihat berlari menuju ke arah mereka. Akito terlihat marah sementara Icchan terlihat khawatir dan sedikit takut.

“Oh, kalian mau ikut bergabung main dengan kami?” tanya anak yang memegang kotak bekal Yukino dengan nada biasa, tapi wajahnya terlihat kesal. Sementara itu terdengar suara decak kesal dari salah satu anak di sebelahnya.

“Kembalikan kotak bekalnya!” Akito tak memperdulikan ucapan anak itu dan melesat ke arah mereka. Dengan satu gerakan cepat ia menyambar kotak bekal Yukino dari tangan anak itu, lalu menyodorkannya kembali pada Yukino. Semuanya hanya bisa melongo takjub melihat betapa cepatnya kejadian itu berlangsung.

“Sebaiknya kalian semua pergi dari sini, dan jangan pernah mengganggu Yuki-chan lagi!” kata Akito lantang memecah keheningan.

Ketiga anak di depannya tersentak dan langsung memasang wajah marah. “Hah?! Apa katamu?! Kami ‘kan hanya bermain!”

“Bermain apanya? Kalian laki-laki tapi bisanya cuma mengganggu anak perempuan! Kalian benar-benar payah! Menjijikan!”

Ucapan Akito berhasil membuat wajah ketiga anak itu merah padam karena amarah. Tanpa aba-aba mereka langsung maju serentak. Yukino memekik ketika mereka melayangkan pukulan mereka ke arah Akito, hendak mengeroyoknya. Tapi Akito tak bergerak sedikit pun dari depan Yukino. Tangannya terulur seolah melindungi Yukino.

Lalu tiba-tiba… “Pak Guru, ada yang berkelahi! Cepat, di sebelah sini!”

Langkah anak-anak itu otomatis terhenti. Kemudian, suara langkah kaki yang berlari menaiki tangga mulai terdengar dari arah tangga di belakang mereka. Menyadari bahwa ada guru yang akan datang, mereka mendadak panik dan langsung berlari pergi dari sana secepat mungkin.

Ketika mereka menghilang dari pandangan, Yukino langsung merasa lemas dan ia jatuh terduduk di lantai. Ia dan Akito selamat. Benar-benar beruntung.

Sedetik kemudian, ia sadar. Mereka juga harus segera pergi. Jika guru menangkap mereka berkelahi, itu tidak akan bagus. “Akkun…”

“Untung saja mereka tertipu!” Panggilan Yukino terpotong oleh dengusan Akito. Yukino mengerjap. Apa yang ia katakan tadi?

“Akkun, apa mereka sudah pergi?” Icchan yang sejak tadi tak terlihat, melongokan kepalanya dari balik dinding di tangga.

“Ya! Terima kasih ya!” Akito berkata ringan dengan senyum terpasang di wajahnya, sementara Yukino menatap mereka bergantian tak mengerti.

Akito mengulurkan tangan pada Yukino, membantunya berdiri, sambil menjelaskan. “Tidak ada guru yang datang. Tadi itu Icchan hanya berpura-pura membawa guru ke sini untuk mengusir mereka.”

Yukino tak habis pikir tentang hal nekat yang baru saja Akito lakukan. Mendadak Yukino merasa kesal. “Ka-kamu pikir apa yang kamu lakukan? Bagaimana jika mereka tak tertipu? Kamu bisa babak belur dikeroyok mereka!” omelnya tiba-tiba membuat Akito dan Icchan terkejut.

“Tapi mereka tertipu, kan? Jadi semua baik-baik saja,” kata Akito ringan sambil membentuk simbol ‘peace’ dengan jarinya.

“Kamu… seharusnya gak perlu berbuat seperti itu untuk menolongku,” gumam Yukino setelah terdiam beberapa saat. “Kamu bisa terluka.”

“Kamu sendiri, kenapa gak melawan? Kamu juga bisa terluka lagi kalau mereka dibiarkan, kan?” Akito balik bertanya. Nada suaranya terdengar kesal, dan raut wajahnya terlihat serius. “Kamu seharusnya melaporkan mereka pada guru. Tapi kamu malah membiarkan mereka dan merahasiakan ulah mereka.”

Yukino tak mampu membalas ucapan Akito karena semua itu kenyataan. Tapi ia punya alasan untuk melakukan semua itu.

[***]

Note: First, I would like to say, Happy New Year 2017 everyone! May this year be a better year than the previous year. Second, I am really very sorry for the delay of the continuation of this story. Even though I already said that I’ll update it at least a month… Really, I am very sorry. Well, if there is someone out there who still enjoy this very-slow-progress story, I would feel very happy.


Tinggalkan komentar