A Flavour of Life

Beranda » Posts tagged 'slice of life'

Tag Archives: slice of life

Beauty Loves The Beast: part 10

​“Suzuki-chan, kau di sana?”

Yukino mengerjap. Ia dipaksa sadar dari lamunannya oleh suara yang tiba-tiba memanggilnya. Ia mengenali suara itu, jadi ia merangkak keluar dari bawah meja dan menyapa Kazuki. “Aku di sini.”

“Syukurlah. Kukira kau benar-benar pulang,” kata Kazuki seraya ia berjalan menghampiri Yukino.

“Aku ketua OSIS, mana mungkin aku bisa pulang,” gumam Yukino sambil menarik salah satu kursi dan duduk.

“Kau bilang begitu, tapi kau tidak hadir di upacara pembukaan.” Kazuki berjalan melewati Yukino, ke arah jendela. Ia menatap lapangan di bawah tempat para siswa berlomba. Saat ini lomba lari estafet sedang berlangsung, dan Kazuki bisa melihat Akito sedang berdiri di salah satu jalur lomba sebagai salah satu peserta dari Grup Putih. “Apa karena kau tak ingin bertemu dengannya?”

Yukino tak menjawab pertanyaan Kazuki.

“Kau ingin mengakhirinya?”

Yukino terkejut oleh pertanyaan terakhir yang dilontarkan Kazuki. “Tidak! Tentu saja tidak,” jawabnya cepat.

Kazuki tersenyum sedih. Ia masih menatap ke arah lapangan, kini Akito telah menerima tongkat estafet dan sedang berlari menuju garis finish. “Dia tak akan kembali jadi ‘Akkun’. Kau tahu itu.”

“Meski begitu, aku ingin tetap bersamanya,” gumam Yukino. Ia berusaha menyembunyikan rasa sedih yang ia rasakan dalam nada suaranya. Tapi tampaknya tak berhasil. Kazuki menangkap semuanya dengan jelas.

Saat Akito mencapai garis finish di posisi kedua, Kazuki berbalik menghadap Yukino. “Kenapa?” gumamnya pelan.

Yukino mendongak menatap Kazuki karena mendengar nada suara Kazuki yang berubah. Ia mendapati Kazuki sedang menatapnya dengan raut wajah serius yang tidak biasa. “Kenapa kau tetap ingin bersamanya? Kau tahu itu hanya akan menyakitimu?” Kazuki memperjelas pertanyaannya.

Yukino termenung. Dulu pernah ada seseorang yang bertanya hal yang mirip seperti ini. Orang itu juga memasang wajah serius, tapi nada suaranya terdengar kesal. Mungkin ia kesal karena Yukino terlihat seolah membiarkan dirinya sendiri tersakiti tanpa alasan. Tapi bagi Yukino, yang ia lakukan bukannya tanpa alasan.

Dulu, ia membiarkan dirinya di-bully bukan karena ia tak mampu melawan. Ia hanya tak ingin membuat ibunya bersedih. Jika ia melawan dan para guru mengetahui mereka berkelahi, sekolah akan memanggil orang tua mereka semua untuk menyelesaikannya. Jika itu terjadi, maka itu akan menjadi masalah bagi ia dan ibunya. Jadi Yukino berusaha untuk bertahan, dan berharap jika suatu saat para pem-bully itu akan bosan padanya lalu menghentikan semua yang mereka lakukan.

Dulu, ia melakukannya karena ia menyayangi ibunya. Ia tak ingin melihat ibunya menangis lagi. Sudah cukup ibunya menangis saat ayahnya meninggalkan mereka. Maka Yukino membiarkan dirinya menerima semua perlakuan itu demi menjaga senyuman ibunya. Tapi sekarang…

“Sudah cukup bukan? Akito menjadi seperti ini bukan karena kesalahanmu.” Suara Kazuki kembali terdengar. Yukino masih tak berkata apapun.

Memang tak ada seorang pun yang menyalahkannya. Semua orang berkata itu adalah kecelakaan. Tapi itu justru membuat Yukino semakin tersiksa. Itu karena ia sadar ialah penyebab semua itu. Ialah yang telah menghancurkan ‘Akkun’.

[***]

Sejak kejadian yang terjadi saat Yukino dicegat para anak nakal, Akito jarang mengajak Yukino makan siang bersama lagi. Yukino yakin ia marah karena Yukino tak menjawab pertanyaannya waktu itu. Selain itu, Yukino juga lupa mengucapkan terima kasih. Jika diingat kembali, Yukino bahkan tak pernah mengucapkan terima kasih satu kali pun pada Akito, walau ia sudah banyak sekali menolongnya.

Yukino benar-benar yakin ia sudah membuat Akito marah, dan sudah siap menerima jika Akito tak ingin berteman dengannya lagi. Tapi saat Akito berkunjung ke kelasnya dan bersikap biasa saja, Yukino merasa benar-benar lega dan senang. Hari ini pun mereka akan makan siang bersama di atap sekolah.

“Icchan kemana?” tanya Yukino saat mereka sudah sampai di atap dan duduk. Ia melihat berkeliling tapi tetap tak menemukan sosok Icchan di manapun.

“Hari ini Icchan tak bisa ikut makan siang dengan kita,” jawab Akito sambil membuka kotak bekalnya.

“Oh, begitu,” gumam Yukino sementara ia mengingat. Akhir-akhir ini Icchan hampir tak pernah makan siang bersama mereka lagi. Entah apa alasannya, Akito tak pernah berkata apapun, Yukino juga tak pernah menanyakannya. Karena itu mereka jadi sering makan siang berdua saja seperti saat ini, dimana tak ada seorang pun kecuali mereka di atap sekolah.

Sadar bahwa ia hanya berduaan dengan Akito, mendadak membuat Yukino gugup. Jantungnya mulai berdegup dua kali lebih cepat, saat ia menyadari bahwa ia duduk sangat dekat dengan Akito. Yukino bingung, keanehan apa yang saat ini sedang dialaminya? Akhir-akhir ini ia sering merasa seperti ini jika ia berada di dekat Akito. Apakah ia sedang sakit? Tidak, sepertinya tidak begitu. Meski merasa aneh Yukino tak membenci apa yang ia rasakan. Ia justru merasa senang. Ia senang makan siang bersama Akito. Ia senang berbicara dengan Akito. Ia senang Akito tersenyum padanya.

Tak terasa setahun pun berlalu. Yukino kini duduk di kelas 5, dan ia sekelas dengan Akito dan Icchan. Ia benar-benar senang karena bisa sekelas dengan mereka. Selain itu, ia juga tak sekelas lagi dengan anak-anak nakal yang selalu mem-bully-nya. Para pem-bully pun kini mulai berhenti mengejek dan mengganggu Yukino. Ia merasa bahwa ini mungkin kesempatan yang baik baginya untuk menambah teman dan memperbaiki kehidupan sekolahnya. Hari ini adalah hari pertama di tahun ajaran baru, dan Yukino merasa bersemangat.

Sayangnya semangat itu memudar saat ia menyadari sikap aneh Icchan. Ia menyadarinya saat jam pelajaran berlangsung dan guru mereka memberitahu mereka untuk membentuk kelompok yang terdiri dari tiga orang. Saat ia menghampiri Icchan hendak mengajaknya bergabung dengan kelompoknya dan Akito, ia melihat rauh wajah Icchan berubah aneh dan ia cepat-cepat meminta pada temannya yang lain untuk memasukkannya dalam kelompok mereka.

Meski akhirnya Icchan bergabung ke kelompoknya dan Akito, sikap Icchan sebelumnya jelas menunjukkan kalau ia enggan sekelompok dengan mereka. Selain itu, selama mengerjakan tugas berkelompok, sikap Icchan jelas-jelas berubah. Ia jadi sangat pendiam dan tampaknya merasa tak nyaman selama berada di dekat mereka, terutama Akito. Ia berkali-kali melirik dengan tatapan awas ke arah Akito, seolah-olah Akito akan melakukan sesuatu padanya.

Semua itu membuat Yukino bertanya-tanya apakah mereka berdua sedang bertengkar. Namun melihat sikap Akito yang biasa-biasa saja, Yukino mengurungkan niat untuk bertanya. Keadaannya mungkin justru akan menjadi semakin buruk jika ia ikut campur urusan mereka. Tapi tetap saja, Yukino tak bisa menghilangkan rasa khawatirnya. Ia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ia ingin membantu mereka berdua.

“Hei, ada yang bisa membuang sampahnya?”

Yukino tersentak. Ia hampir lupa jika saat ini ia sedang bertugas piket sepulang sekolah. “A-ah, iya! Biar aku yang melakukannya.” Yukino cepat-cepat mengangkat dan membawa tempat sampah yang sudah penuh itu ke tempat pembuangan di belakang sekolah. Sesampainya di sana, ia menemukan sesuatu yang seharusnya tak ada di sana.

Yukino terkejut. Ia mengambil benda itu dengan cepat dari antara tumpukan sampah. Sebuah buku catatan, dan di sampulnya tertulis nama ‘Akito Yoshikawa’. Mendadak seluruh tubuh Yukino merinding. Pikirannya mulai membentuk sebuah alasan mengerikan yang menjelaskan sikap aneh Icchan tadi pagi.

Setengah sadar, ia berlari meninggalkan tempat itu menuju ke kelas. Begitu sampai di kelas dan tak menemukan Akito di sana, ia berlari untuk mencarinya di seluruh sekolah. Saat itulah ia menemukan telah terjadi keributan di dekat tangga di lantai 2. Sepertinya ada anak yang sedang berkelahi. 

Yukino merasakan firasat buruk. Ia pun berusaha menerobos kerumunan siswa yang memenuhi tempat itu untuk melihat lebih dekat. Benar saja, yang sedang berkelahi di sana adalah Akito dan salah satu anak yang dulu selalu mem-bully-nya.

Yukino benar-benar terkesiap melihat keadaan mereka. Wajah mereka sudah babak belur. Bahkan bibir dan hidung Akito mengeluarkan darah. Ia tidak tahan melihat keadaan Akito, dan tanpa sadar berlari ke arah mereka untuk menghentikan perkelahian.

“Hei, kalian! Hentikan! Sudah cukup!”

Sebelum Yukino sempat mencapai mereka. Suara lantang seorang guru lebih dahulu menghentikan gerakan mereka. Yukino lega melihat ada beberapa guru yang datang. Murid-murid yang bergerombol untuk menonton pun mulai berlarian meninggalkan tempat itu. Tapi saat perhatian semua orang teralih kepada guru-guru yang datang, sesuatu terjadi diikuti oleh suara benturan keras.

Sedetik tak ada yang bergerak maupun bersuara, kemudian…

“KYAAAAAHH!!!”

Suara teriakan itu bagai sebuah bom. Seorang guru berlari dan menangkap anak yang berkelahi dengan Akito. Seorang lagi berusaha menjauhkan anak-anak lain yang masih berada di sana. Sisanya berlarian menuruni tangga. Yukino yang tak menemukan Akito di manapun, tak bisa melepaskan pandangannya dari arah tangga. Ia melangkah perlahan menuju tangga, kakinya gemetaran.

Tidak, tidak mungkin. Akkun tidak…

Pikiran Yukino langsung kosong begitu ia melihat apa yang ada di dasar tangga. Itu Akito. Ia tergeletak di sana, tak bergerak, dengan darah merembes keluar dari kepalanya.

Beauty Loves The Beast: part 9

Keesokan harinya, Yukino memberanikan diri untuk berkeliling mencari Akkun dan Icchan, walau harus menghadapi tatapan tak menyenangkan dari sekelilingnya.

“Oh!” Akkun-lah yang pertama melihat Yukino. Ia terlihat sedang berbicara dengan beberapa anak lainnya melalui jendela di sebuah kelas. Yukino melirik papan nama ruang kelas itu. Ternyata ia juga kelas 4, kalau begitu ia tidak mungkin tidak tahu soal Yukino…

“Hei, ada perlu apa?” tanya Akkun ramah setelah ia keluar ruang kelas, dan hendak berjalan menghampiri Yukino, tapi… “Hei, kau tak perlu ke sana,” tiba-tiba salah seorang dari anak yang sedang berbicara dengannya tadi, menghentikannya. Akkun memandang mereka tak mengerti, “Huh? Apa maksudmu?” gumamnya. Tapi ia tetap melangkah menghampiri Yukino.

Saat sampai di depan Yukino, Akkun menyadari tatapan takut dan awas Yukino padanya. Ia semakin tak mengerti. Lalu ia melihat tatapan itu beralih darinya ke teman-temannya, dan berubah menjadi tatapan yang jauh lebih gelap. Akkun terkejut melihatnya. Apa itu… tatapan benci? Dendam?

“I-ini!” Yukino tiba-tiba menyodorkan sesuatu. Sebuah kantong kertas kecil.

“Eh?” Akkun masih bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi. Hanya itu reaksi yang bisa ia berikan, saat Yukino langsung berlari meninggalkannya begitu menyerahkan kantong itu.

“Apa-apa itu tadi?” gumam Akkun pada diri sendiri. Ia mendengar tawa mengejek dari arah teman-temannya. “Seperti biasa, tatapannya menyeramkan seperti nenek sihir,” kata salah satu anak. “Hei, awas, nanti kau bisa dikutuk lho!” timpal yang lainnya.

Akkun kembali terkejut. Jangan-jangan anak perempuan itu benar-benar…?

[***]

Siang itu, Yukino makan siang di bawah meja di ruang PPK lagi. Tempat itu tidak digunakan kecuali saat pelajaran PKK. Jadi Yukino bisa tenang berada di sana.

Waktu jeda pelajaran tadi, ia mengembalikan saputangan Akkun yang sudah ia cuci bersih, dan saat itu Akkun sedang bersama dengan anak-anak yang pernah menertawakannya. Ia ingat wajah mereka semua walau Yukino berusaha untuk melupakannya. Keputusannya untuk mengembalikannya mungkin keputusan yang tepat. Dengan begini, ia tak berhutang padanya dan tak akan berhubungan dengannya lagi. Semua sudah selesai.

Tiba-tiba Yukino merasakan dorongan yang amat sangat untuk menangis. Entah mengapa ia merasa sangat sedih. Mungkin ini karena ia tahu, jika begini terus ia tak akan bisa bertahan lagi. Ia akan hancur tak bersisa…

“Hei! Syukurlah, ternyata kamu memang disini.”

Yukino membatu.

“Hei, ada apa? Kamu menangis lagi?”

Yukino perlahan mengangkat wajahnya. Apa ia salah dengar?

“Kamu gak apa-apa?” Akkun sedang berlutut di depannya, ia terlihat agak khawatir.

Yukino tak bisa berkata apa-apa selama beberapa saat. Melihat Yukino yang seperti itu, Akkun tertawa, “Reaksimu sama persis seperti kemarin.”

“Ke-kenapa…?” tanya Yukino tergagap saat ia menemukan suaranya kembali.

“Ah, aku mau berterima kasih karena kamu sudah mengembalikan ini, bahkan kamu sampai mencucinya. Terima kasih, ya,” katanya sambil menunjukkan saputangan yang Yukino kembalikan dan tersenyum.

Yukino kembali dibuat tak bisa berkata-kata. Tak ada yang pernah berterima kasih padanya sebelumnya. Tanpa sadar ia lagi-lagi mempertanyakan hal yang baru saja terjadi. Apa ini nyata? Apa anak laki-laki yang sedang tersenyum di depannya ini benar-benar nyata? Apa kata-kata yang ia ucapkan tadi juga nyata? Apa Yukino benar-benar tidak sedang bermimpi saat ini?

“Kenapa kamu diam saja? Haloo?” tanya Akkun sambil mengibaskan tangannya di depan wajah Yukino. Ia menggaruk-garuk kepalanya kebingungan melihat Yukino yang tak juga bereaksi. Kemudian ia mengulurkan tangannya pada Yukino. “Oh, ya. Aku belum tahu namamu. Siapa namamu?” tanyanya sambil tersenyum ramah.

Yukino memandang tangan Akkun selama beberapa saat. “Ke-kenapa ka-kamu mau tahu na-namaku?” tanya Yukino dengan suara yang amat kecil.

“’Kenapa’? Tentu saja karena aku ingin berteman denganmu.”

Yukino mengernyitkan alisnya. “Ke-kenapa kau ingin berteman denganku?”

“Huh? Memangnya perlu alasan kalau ingin berteman dengan seseorang?”

Yukino tercengang. “Ka-kamu… benar-benar tak tahu siapa aku?” tanya Yukino dengan suara yang mulai meninggi.

“Tidak, tidak tahu. Tapi kalau kita sudah berteman, aku akan tahu tentangmu,” jawab Akkun polos.

Yukino tak bisa membalas ucapannya. Ia hanya memandangnya tak percaya. Lagi-lagi ia kehilangan kata-kata.

“Nah, jadi siapa namamu?” tanya Akkun lagi, tangannya masih terulur pada Yukino.

Yukino terdiam beberapa saat. Lalu perlahan, dengan tangan yang agak gemetar, ia menjabat tangan Akkun dan berkata, “Yu-Yukino, Yukino Kisaragi.”

Akkun pun menyambut tangan Yukino dengan menggenggamnya erat, yang otomatis membuat Yukino terkejut. “Aku Akito, Akito Yoshikawa,” katanya riang dengan senyum secerah matahari mengembang di wajahnya.

[***]

Yukino berjalan cepat menyusuri koridor. Ia sudah terlambat untuk janji makan siang bersama di atap sekolah. Senyum Yukino mengembang seraya ia mempercepat langkahnya. Ini benar-benar sulit dipercaya. Ia akhirnya punya teman. Bahkan sudah hampir seminggu ini, ia makan siang bersama mereka. Rasanya benar-benar menyenangkan. Tak pernah Yukino membayangkan jika memiliki teman itu rasanya sangat menyenangkan seperti ini. Mereka mengobrol tentang banyak hal, bahkan sampai ke hal-hal konyol, juga saling bercanda dan tertawa bersama. Sekolah pun sekarang terlihat seperti tempat yang seratus kali lebih baik daripada sebelumnya.

Yukino benar-benar hanyut dalam pikirannnya sendiri, hingga ia tak sadar jika beberapa anak telah menunggunya. Begitu Yukino hendak melewati mereka, anak-anak tersebut langsung mencegat Yukino. Yukino terkejut dan menabrak salah seorang anak yang berdiri paling depan, hingga kotak bekalnya terjatuh.

“Hei-hei, kalau jalan lihat ke depan. Lagipula, mau ke mana kamu buru-buru begitu?” kata anak yang ditabrak Yukino dengan nada mengejek. Ia dan dua anak lainnya yang ada di sana adalah anak-anak nakal yang selalu mem-bully Yukino.

Yukino langsung merinding. Tidak ada siapa pun di sekitar mereka. Yukino sendirian. Dengan cepat ia membungkuk, hendak mengambil kotak bekalnya. Tapi anak-anak itu tak membiarkannya. Anak yang paling depan menendang kotak bekal itu ke belakang, lalu salah satu anak di belakangnya mengambilnya.

“Sepertinya kamu punya teman main baru, ya? Kamu gak lupa pada kami, kan?” katanya sambil menyunggingkan senyum mengejek.

Yukino melangkah mundur. Ia mulai gemetaran. Bagaimana ini? Apa yang sebaiknya ia lakukan? Haruskah ia berbalik meninggalkan tempat ini? Atau haruskah ia berlari menerobos mereka menuju ke atap sekolah dimana temannya menunggu?

“Ada apa? Kenapa kamu diam saja? Bagaimana jika sesekali kamu main dengan kami lagi? Kami sedikit kesepian, lho. Oh, iya. Bagaimana kalau kita mulai main sekarang saja? Pasti menyenangkan,” lanjut anak yang berdiri paling depan.

Tidak, terlalu beresiko jika menerobos, sebaiknya ia segera berbalik dan lari dari sini. Benar, lari.. Cepat… Lari…

“Hoi! Apa yang kalian lakukan?”

Mereka semua serentak menoleh ke arah asal suara keras yang tiba-tiba terdengar. Dari sana, Akito dan Icchan terlihat berlari menuju ke arah mereka. Akito terlihat marah sementara Icchan terlihat khawatir dan sedikit takut.

“Oh, kalian mau ikut bergabung main dengan kami?” tanya anak yang memegang kotak bekal Yukino dengan nada biasa, tapi wajahnya terlihat kesal. Sementara itu terdengar suara decak kesal dari salah satu anak di sebelahnya.

“Kembalikan kotak bekalnya!” Akito tak memperdulikan ucapan anak itu dan melesat ke arah mereka. Dengan satu gerakan cepat ia menyambar kotak bekal Yukino dari tangan anak itu, lalu menyodorkannya kembali pada Yukino. Semuanya hanya bisa melongo takjub melihat betapa cepatnya kejadian itu berlangsung.

“Sebaiknya kalian semua pergi dari sini, dan jangan pernah mengganggu Yuki-chan lagi!” kata Akito lantang memecah keheningan.

Ketiga anak di depannya tersentak dan langsung memasang wajah marah. “Hah?! Apa katamu?! Kami ‘kan hanya bermain!”

“Bermain apanya? Kalian laki-laki tapi bisanya cuma mengganggu anak perempuan! Kalian benar-benar payah! Menjijikan!”

Ucapan Akito berhasil membuat wajah ketiga anak itu merah padam karena amarah. Tanpa aba-aba mereka langsung maju serentak. Yukino memekik ketika mereka melayangkan pukulan mereka ke arah Akito, hendak mengeroyoknya. Tapi Akito tak bergerak sedikit pun dari depan Yukino. Tangannya terulur seolah melindungi Yukino.

Lalu tiba-tiba… “Pak Guru, ada yang berkelahi! Cepat, di sebelah sini!”

Langkah anak-anak itu otomatis terhenti. Kemudian, suara langkah kaki yang berlari menaiki tangga mulai terdengar dari arah tangga di belakang mereka. Menyadari bahwa ada guru yang akan datang, mereka mendadak panik dan langsung berlari pergi dari sana secepat mungkin.

Ketika mereka menghilang dari pandangan, Yukino langsung merasa lemas dan ia jatuh terduduk di lantai. Ia dan Akito selamat. Benar-benar beruntung.

Sedetik kemudian, ia sadar. Mereka juga harus segera pergi. Jika guru menangkap mereka berkelahi, itu tidak akan bagus. “Akkun…”

“Untung saja mereka tertipu!” Panggilan Yukino terpotong oleh dengusan Akito. Yukino mengerjap. Apa yang ia katakan tadi?

“Akkun, apa mereka sudah pergi?” Icchan yang sejak tadi tak terlihat, melongokan kepalanya dari balik dinding di tangga.

“Ya! Terima kasih ya!” Akito berkata ringan dengan senyum terpasang di wajahnya, sementara Yukino menatap mereka bergantian tak mengerti.

Akito mengulurkan tangan pada Yukino, membantunya berdiri, sambil menjelaskan. “Tidak ada guru yang datang. Tadi itu Icchan hanya berpura-pura membawa guru ke sini untuk mengusir mereka.”

Yukino tak habis pikir tentang hal nekat yang baru saja Akito lakukan. Mendadak Yukino merasa kesal. “Ka-kamu pikir apa yang kamu lakukan? Bagaimana jika mereka tak tertipu? Kamu bisa babak belur dikeroyok mereka!” omelnya tiba-tiba membuat Akito dan Icchan terkejut.

“Tapi mereka tertipu, kan? Jadi semua baik-baik saja,” kata Akito ringan sambil membentuk simbol ‘peace’ dengan jarinya.

“Kamu… seharusnya gak perlu berbuat seperti itu untuk menolongku,” gumam Yukino setelah terdiam beberapa saat. “Kamu bisa terluka.”

“Kamu sendiri, kenapa gak melawan? Kamu juga bisa terluka lagi kalau mereka dibiarkan, kan?” Akito balik bertanya. Nada suaranya terdengar kesal, dan raut wajahnya terlihat serius. “Kamu seharusnya melaporkan mereka pada guru. Tapi kamu malah membiarkan mereka dan merahasiakan ulah mereka.”

Yukino tak mampu membalas ucapan Akito karena semua itu kenyataan. Tapi ia punya alasan untuk melakukan semua itu.

[***]

Note: First, I would like to say, Happy New Year 2017 everyone! May this year be a better year than the previous year. Second, I am really very sorry for the delay of the continuation of this story. Even though I already said that I’ll update it at least a month… Really, I am very sorry. Well, if there is someone out there who still enjoy this very-slow-progress story, I would feel very happy.

Beauty Loves The Beast: part 8

Suara kemeriahan festival olah raga terdengar sangat jauh dari perpustakaan. Yukino awalnya sangat menantikan acara ini, tapi semua keantusiasannya telah menguap tak bersisa. Kini ia hanya ingin menyendiri.

Yukino sudah duduk melamun di bawah sebuah meja belajar di perpustakaan sejak persiapan untuk acara pembukaan selesai tadi pagi. Ia ingat dulu ia biasa bersembunyi seperti ini sepanjang jam istirahat sekolah, karena ia tak ingin di-bully oleh anak-anak nakal di kelasnya. Ia selalu berusaha keluar pertama saat bel istirahat berbunyi, kemudian mencari tempat untuk bersembunyi di kelas kosong, di ruang kesenian, di ruang PKK, di laboratorium IPA, atau di manapun selama mereka tak akan menemukannya.

Ia ingat betul, saat itu ia kelas 4 SD. Yukino saat SD sangat biasa-biasa saja, rambutnya pendek sedagu dengan poni yang dipotong rata. Hanya berdua dengan ibunya, Yukino tinggal di kamar sewaan dan hidup dengan sangat pas-pasan.

Sebenarnya, Yukino bukanlah putri kandung keluarga Suzuki. Saat ia duduk di bangku kelas 2 SMP, ibunya tiba-tiba memperkenalkan seorang pria yang katanya akan menjadi ayah baru Yukino. Yukino tak menyangka jika pria yang berusia lebih muda dari ibunya itu, ternyata adalah pewaris tunggal keluarga konglomerat Suzuki. Setelah ibunya menikah kembali, dan ia serta Yukino resmi menjadi bagian dari keluarga Suzuki, hidup mereka pun berubah drastis. Ayah barunya juga sangat menyayangi Yukino, bahkan bisa dibilang overprotective.

Kembali ke masa-masa Yukino saat SD, meski saat itu hidupnya berbanding 180 derajat dengan hidupnya sekarang, ia tetap bersyukur karena memiliki ibu yang sangat menyayanginya. Ibunya selalu bekerja membanting tulang demi menghidupi mereka berdua. Karena itu, meski saat itu ia di-bully habis-habisan, Yukino tak mengatakan apapun, ia tak ingin menyusahkan ibunya lebih jauh lagi.

“Cewek jelek!”

“Hei lihat! Cewek jelek datang!”

“Baju yang dipakainya selalu sama!”

“Hiih! Gak pernah dicuci ya?!”

“Pasti karena dia gak punya baju lain!”

“Sudah jelek, miskin pula!”

“Awas, jangan dekat-dekat! Nanti ketularan jeleknya!”

Hampir setiap hari ia selalu menerima ejekan seperti itu. Buku-buku dan alat tulisnya sering hilang, setiap pagi harus membersihkan mejanya yang penuh coretan mengerikan dengan spidol, sepatunya hampir setiap hari ditemukannya di tempat sampah setelah sebelumnya hilang disembunyikan, bahkan kakinya pernah sengaja disandung seseorang hingga ia terjatuh terjerembab. Tidak ada yang menolongnya, tak seorang pun, mereka malah dengan kejamnya tertawa ketika ia terjatuh. Dan ia juga ingat bagaimana ia selalu makan siang di bawah kolong meja sendirian.

Aku ingin pergi dari sini… Aku tidak mau ke sekolah lagi… Semuanya jahat padaku… Ibu… Aku takut… 

Benar, dulu ia selalu menangis ketakutan sendirian. Ia kesepian karena tak memiliki teman, dan ia tak ingin membebani ibunya yang sudah terlalu sibuk bekerja. Ia bahkan sudah tak ingat lagi apa yang menyebabkan ia mengalami semua ini. Sekolah menjadi sebuah neraka baginya. Rasa benci hampir menguasainya. Sampai suatu hari seseorang menemukannya.

[***]

“Hei, kamu sedang apa?”

“…..”

“Kenapa kamu makan siang di bawah meja?”

“…..”

“Eh?! Kenapa kamu menangis?”

“…..”

“Wah, lututmu luka ya?! Pakaianmu juga kotor, kamu gak apa-apa?”

Yukino hanya bisa melongo, pikirannya kosong, ia duduk diam disana tak bergerak sama sekali seperti patung. Ia masih tak bereaksi ketika anak itu meronggoh saku celananya dan menyodorkan saputangan padanya. Melihat Yukino yang hanya memandang dengan kosong seolah tak mengerti, anak itu lalu membersihkan wajah Yukino yang kotor oleh air mata dan ingus dengan saputangannya. Meski begitu Yukino tampaknya masih terlalu shock untuk dapat menggerakan satu jari pun.

Kemudian anak itu meronggoh lagi saku celananya, mencari sesuatu. “Hmm, sepertinya tadi aku membawa satu,” gumamnya pada diri sendiri.

Yukino memandang anak itu, mengamatinya. Apa ini mimpi? Siapa anak ini? Kenapa ia menolongnya? Kenapa ia bicara padanya?

“Akkun, kamu dimana?” Tiba-tiba terdengar suara seorang anak lainnya.

‘Akkun’ mengenali suara anak itu dan beranjak menghampirinya. “Icchan, aku disini!” panggilnya.

“Akkun? Sedang apa di ruang PKK?”

Yukino mendengar kedua langkah kaki mereka yang mendekat, dan tiba-tiba rasa takut yang amat sangat menyerangnya. Bagaimana ini? Bagaimana jika mereka juga akan mem-bully-nya? Ia harus pergi. Ia harus kabur sebelum mereka melakukannya.

Dengan terburu-buru Yukino membereskan kotak bekalnya. Ia hendak keluar dari bawah meja ketika dua anak itu tiba-tiba sudah ada di depannya. Saking terkejutnya, Yukino membenturkan kepalanya ke langit-langit  meja.

Kedua anak itu terkejut oleh suara benturan yang keras. “Kamu gak apa-apa?! Kenapa terburu-buru, sih?” tanya Akkun. Yukino tak menjawab, ia hanya memegangi kepalanya, menahan sakit. Akkun lalu menariknya keluar dari bawah meja, sementara Icchan memungut kotak bekal Yukino yang terjatuh.

“Icchan, kamu bawa plester luka, kan?” Akkun menoleh pada Icchan, saat ia sudah mendudukkan Yukino di salah satu bangku.

“Bawa, tapi untuk apa?” tanya Icchan sambil menyerahkan plester luka pada Akkun.

“Anak ini lututnya luka,” Akkun menunjuk lutut Yukino. “Boleh sekalian pinjam saputangan? Punyaku sudah kotor,” tambah Akkun. Setelah Icchan menyerahkan saputangannya, ia berjalan mengikuti Akkun ke salah satu wastafel yang ada disana.

Yukino mengamati kedua anak laki-laki itu. Kelihatannya mereka juga anak kelas 4. Anak yang dipanggil ‘Akkun’ memiliki rambut hitam pendek, sementara ‘Icchan’ berwajah manis seperti anak perempuan dan terlihat agak cengeng.

“Aduh!” Yukino bergumam kesakitan ketika saputangan yang basah oleh air dingin menyentuh lukanya.

“Tahan ya,” kata Akkun selagi ia dengan cekatan membersihkan luka Yukino, kemudian menempelkan plester luka di luka itu.

“Wah, Akkun hebat!” kata Icchan kagum.

“Ini bukan apa-apa. Ibuku yang dokter jauh lebih hebat.”

“Oh, ya? Akkun juga mau jadi dokter?” tanya Icchan.

“Gak,” jawab Akkun, membentuk tanda silang dengan kedua tangannya. Lalu ia memasang senyum penuh percaya diri dan berkacak pinggang sambil berkata, “Aku mau jadi astronot!”

“Astronot?!” Icchan memandang Akkun dengan tatapan bersinar-sinar, semakin kagum. “Hebat! Keren!”

Akkun mulai bercerita mengenai cita-citanya, dan mereka tampaknya sudah melupakan keberadaan Yukino disana. Yukino masih terlalu “takjub” sehingga yang ia lakukan hanya duduk diam disana selama beberapa menit, tak tahu apa yang harus dilakukan. Ia kemudian memutuskan untuk menyelinap pergi meninggalkan mereka. Walau tidak sopan pergi begitu saja tanpa mengucapkan terima kasih setelah ditolong, tapi ini lebih baik karena Yukino tak ingin berurusan dengan mereka lebih jauh.

Baru saja hendak berdiri, Yukino terhenti oleh panggilan Akkun, “Oh ya, kenapa kamu terluka?” Yukino membatu.

“Apa kamu gak sengaja jatuh?” tanya Akkun. Yukino hanya terdiam.

“Kenapa tidak ke UKS?” tanyanya lagi. Namun Yukino tak menjawab satu pun pertanyaan-pertanyaan itu.

Akkun dan Icchan saling pandang. “Umm… Apa kamu dijahili?” tanya Akkun hati-hati. Tubuh Yukino terlihat menegang saat Akkun menanyakannya. Tapi Yukino sendiri tetap menunduk dan diam seribu bahasa, membuat kedua anak laki-laki itu kebingungan.

“Umm… Oh ya, siapa namamu? Namaku…”

Ding dong deng dong.

Tiba-tiba bel berbunyi, menandakan waktu istirahat sudah selesai. Tapi yang membuat mereka terkejut bukan itu, melainkan teriakan Akkun. “Hari ini kan ada ulangan matematika!!” Kemudian Icchan juga ikut berteriak. “Kalau tidak cepat kembali ke kelas bisa gawat!”

Mereka berdua pun berlari keluar ruang PKK, tapi tiba-tiba Akkun berhenti di depan pintu. “Sampai besok!” katanya pada Yukino.

Langkah kaki mereka terdengar semakin menjauh, kemudian menghilang. Sekarang tinggal Yukino sendirian. Yukino masih tak habis pikir tentang apa yang baru saja terjadi. Rasanya seperti habis diterjang badai.

Meski begitu entah mengapa Yukino merasa sedikit senang.

“Sampai besok!”

Kata-kata itu… baru pertama kali ada seseorang yang mengatakannya pada Yukino. Itu seperti yang dilakukan sesama teman. Tanpa sadar muncul senyum kecil di bibir Yukino.

Teman. Yukino sampai saat ini tak memilikinya. Semua anak lain di kelasnya tak mau mendekatinya karena takut akan di-bully juga. Anak-anak kelas sebelah yang tahu mengenai itu juga sama saja. Malah belakangan ini anak-anak kelas sebelah ada beberapa yang ikut mengejeknya.

Kedua anak tadi tampaknya tak tahu apa-apa tentang Yukino. Apa kedua anak tadi menganggapnya sebagai teman? Tidak, tidak mungkin. Berkenalan saja belum, tidak mungkin mereka menganggap Yukino sebagai teman. Tapi jika sudah berkenalan, apa mereka mau menjadi teman Yukino?

Setitik perasaan senang muncul di hati Yukino. Ia akhirnya bisa memiliki teman… Kemudian ia teringat akan perlakuan yang selama ini dialaminya, dan perasaan senangnya lenyap tak bersisa. Jika mereka akhirnya mengenal Yukino, mereka mungkin akan menjauhinya atau yang paling buruk, juga akan ikut mem-bully-nya…

Movie Review: When Marnie was There

Menceritakan tentang Anna Sasaki, seorang gadis yang pendiam, tertutup, dan selalu tampak sendirian. Anna menderita asma yang sering sekali kambuh, dan hal ini membuat orang tua angkatnya sangat khawatir. Atas saran dari dokter, selama libur musim panas Anna lalu pergi ke sebuah kota kecil di dekat laut dimana paman dan bibinya tinggal. Dengan menghabiskan hari-harinya di tempat dengan udara bersih dan menjalani hidup yang lebih santai untuk sementara waktu, diharapkan akan membuat Anna menjadi lebih sehat dan juga membantu menjernihkan pikirannya.

Anna yang hobi membuat sketsa kemudian langsung berjalan-jalan di kota setibanya ia disana. Tak lama ia tertarik dengan sebuah mansion yang telah lama ditinggalkan pemiliknya, yang disebut Marsh House. Meksi awalnya Anna mengira mansion itu kosong, ternyata ada seorang gadis yang tinggal disana. Gadis berambut pirang itu kemudian memperkenalkan diri sebagai Marnie. Anna dengan cepat menjadi akrab dengan Marnie yang ceria, dan mereka bertemu hampir setiap malam. Anna pun perlahan-lahan berubah menjadi lebih ceria dan terbuka. Tapi sepertinya Marnie adalah gadis yang jauh lebih misterius dari apa yang Anna kira. 

(***)

This is the first time I write a review about a movie. I decided to review this movie because, I don’t know, Anna just so similar to me in a way. I also feel that the ending song of this movie is so related to me. So, yeah, it’s like that. Anna adalah anak yang pendiam, dan ia sering menggambar sketsa untuk mengalihkan pikirannya dari hal-hal yang tak mengenakkan. And it’s just so like me (laugh). 

Terlepas dari itu, seperti biasa Studio Ghibli selalu bisa memukau saya lewat film-filmnya. Pemandangan kota yang indah, cerita yang menarik, dan perkembangan karakter dari Anna, menurut saya semuanya sangat bagus. Perjalanan Anna mencari kebenaran tentang Marnie secara tak langsung membuatnya menemukan diri sendiri. Saya merasa sangat tersentuh dengan ini. Dan juga membuat saya bertanya-tanya tentang diri saya sendiri (laugh).

(***)

  • Producers : Dentsu , Toho Company , Walt Disney Studios, Nippon Television Network Corporation
  • Studios : Studio Ghibli
  • Source : Novel
  • Genres : Mystery, Psychological
  • Duration : 1 hr. 43 min
  • Rating : G – All Ages

    (Source myanimelist)

    Fine on The Outside

    Never have that many friends growing up
    So I learned to be okay with just me
    Just me
    And I’ll be fine on the outside

    I like to eat in school by myself anyway
    So I’ll just stay right here
    Right here
    And I’ll be fine on the outside

    So I just sit in my room after hours with the moon
    And think of who knows my name
    Would you cry if I die?
    Would you remember my face?

    So I left home, I packed up, and I moved far away
    From my past one day and I laugh
    I laugh
    I sound fine on the outside

    Sometimes I feel lost, sometimes I confused
    Sometimes I find that I am not alright
    And I cry
    I cry

    So I just sit in my room after hours with the moon
    And think of who knows my name
    Would you cry if I die?
    Would you remember my face?

    ​[***]

    • Lyric from song “Fine on The Outside”
    • Vocal by: Priscilla Ahn
    • Lyrics: Priscilla Ahn
    • Album / Collection: Just Know That I Love You
    • Description: “When Marnie Was There” theme song

    Beauty Loves The Beast: part 7

    ​“Ayo!! Maju!!”

    “Cepat! Ayo cepat!”

    “Kamu bisa! Ayo!!”

    Suara para siswa yang menyemangati teman sekelasnya yang sedang berlomba semakin lama semakin ramai. Membuatnya saling tumpang tindih dan menghasilkan suara bising yang memekakan telinga.

    Di tengah semua keriuhan itu Akito berjalan cepat, menyelinap di sela-sela para siswa yang berkumpul menonton pertandingan. Wajahnya tampak khawatir, ia menengok kesana-kemari, mencari-cari di antara kerumunan besar siswa. Akito tak menyangka jika jumlah siswa yang ikut festival olahraga akan menjadi sebanyak ini. Mungkin seluruh siswa ada di sini sekarang, meski awalnya hampir sebagian besar siswa tak tertarik ikut ambil bagian. Sepertinya mengadakan polling untuk penentuan hadiah adalah keputusan yang tepat.

    “Hei, menurutmu Suzuki-san pergi kemana?” 

    “Entahlah. Kalau diingat-ingat setelah hasil polling diumumkan Suzuki-san jadi jarang kelihatan. Tadi juga, dia tidak ada.”

    Akito menangkap pembicaraan beberapa siswa saat ia berjalan menuju gedung aula. Seharusnya Yukino ada di acara pembukaan pagi ini, tapi ia tidak muncul dan perannya dilakukan oleh wakil ketua OSIS. Para siswa menjadi sedikit gaduh saat itu, tapi untungnya acara pembukaan bisa berjalan tanpa ada kejadian apapun.

    Akito mencemaskan keadaan Yukino. Ia sudah mencari gadis itu kemana-mana, tapi ia tak bisa menemukannya di manapun. Di ruang OSIS, di kelas, di ruang kesehatan, di lapangan, bahkan ia juga mencari di toilet, tapi Yukino tidak ada. Mungkin ia benar-benar tidak ada di sekolah hari ini. Tapi kenapa? Yukino sangat menantikan festival olah raga ini. Ia sudah berusaha keras mempersiapkannya, tak mungkin ia akan melewatkannya begitu saja.

    Sesampainya di gedung aula, pertandingan basket babak penyisihan pertama sedang berlangsung antara kelas 1-1 dari Grup Merah melawan kelas 1-3 dari Grup Putih. Arena khusus yang awalnya disimpan di gedung aula, kini sudah dipindahkan. Sebagian besar siswa yang ada di lantai 1 adalah siswa kelas 1. Akito melihat ada beberapa orang yang menonton dari lantai 2. Saat hendak menaiki tangga, Akito mendengar seseorang memanggilnya.

    “Matsuyama! Akhirnya ketemu!” Rupanya salah seorang teman sekelasnya. “Ayo, kau harus segera kembali ke lapangan! Pertandingan lari 100 m sebentar lagi mulai!” Belum sempat mengatakan apapun, Akito sudah diseret oleh temannya kembali ke lapangan. 

    Akito sama sekali tak memiliki semangat untuk mengikuti pertandingan saat ini. Ia ingin mengundurkan diri sebagai wakil kelas dengan alasan tak enak badan. Tapi, sesampainya di lapangan, Akito mendapati teman-teman sekelasnya sedang kebingungan.

    “Hei! Bagaimana? Kau menemukan Ichiya?”

    “Tidak, aku tak bisa menemukannya!”

    “Dasar! Pergi kemana dia?!”

    ‘Kazuki tidak ada?’ Akito bertanya-tanya dalam hati. Padahal tadi pagi Akito melihat Kazuki berbaris tak jauh di depannya. Apa ia juga membolos dari pertandingan? Jangan-jangan… ia sedang bersama Yukino saat ini?

    Akito tertegun. Pikiran mengenai mereka yang mungkin sedang bersama-sama saat ini, membuat perasaan Akito bercampur aduk. Di sana ada rasa senang, karena jika benar Kazuki bersama Yukino, ia mungkin bisa menghibur gadis itu. Di sana juga ada rasa sedih yang menyesakkan, ketika ia teringat bahwa ialah alasan gadis itu bersedih. Di sana juga ada rasa kesal, karena bukan dirinya yang saat ini bersama Yukino. Tapi lebih dari apapun, ia merasa marah. Marah pada dirinya sendiri yang sudah begitu bodoh. 

    “Matsuyama, pergilah ke garis start!” Salah seorang temannya memberitahunya untuk bersiap. Akito berjalan menuju garis start tanpa benar-benar memperhatikannya.

    Ia baru saja menyadari sesuatu yang penting. Sesuatu yang seharusnya sudah ia sadari sejak lama. Perasaan yang ia miliki terhadap Yukino adalah nyata. Karena itu, wajar baginya untuk merasa cemburu. 

    Saat kau benar-benar menyukai seseorang, wajar jika kau ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersamanya. Karena itu, Akito cemburu pada para anggota OSIS yang menghabiskan lebih banyak waktu bersama Yukino. Hal yang wajar pula jika kau ingin tahu lebih banyak tentang orang itu, ingin lebih mengenalnya, ingin lebih akrab dengannya, ingin melindunginya dan membuatnya selalu tersenyum bahagia. Karena itu, Akito cemburu pada Kazuki yang sudah berteman akrab dengan Yukino sejak SMP dan mengenalnya lebih baik dibanding Akito. 

    “Semua peserta bersiap di garis start!” Pemberi aba-aba mulai memberikan aba-abanya. “Bersiap…!” Tubuh Akito bergerak mengambil posisi membungkuk sesuai aba-aba, meski pikirannya tak sepenuhnya ada disana. Mengapa ia tak bisa seperti orang-orang itu? Jika saja ia bisa menghabiskan lebih banyak waktu bersama Yukino dan lebih mengenalnya, ia mungkin bisa lebih mengerti perasaan Yukino dan tak akan membuatnya terluka. 

    Priiit!

    Peluit tanda pertandingan dimulai sudah ditiup. Dan dunia terasa melambat saat Akito kembali menyadari sesuatu. Yukino memilihnya. Ia memilih Akito. Terlepas dari alasan apapun yang membuat Yukino memilihnya, Akito sangat senang karena Yukino telah memilihnya. “Aku merasa sangat bahagia saat bersamamu. Aku ingin terus bersamamu seperti ini.” Akito teringat kata-kata Yukino saat ia menyatakan perasaannya. “Iya, aku juga. Aku juga ingin terus bersamamu,” Akito membisikkan kata-kata yang waktu itu ia ucapkan pada Yukino, di antara napasnya yang terengah-engah sementara ia berlari.

    Senyum Yukino saat itu dan juga air matanya waktu itu, Akito ingin percaya bahwa itu adalah bukti jika Yukino benar-benar menyukainya. Tapi, itu belum cukup. Ia harus mendengarnya sekali lagi. Harus.

    “Waaa!!!” Suara riuh yang tiba-tiba terdengar, membawa Akito kembali ke dunia nyata. 

    “Hebat Matsuyama!” kata salah seorang teman sekelasnya sembari menghampirinya. 

    ‘Eh?’ Awalnya Akito tampak kebingungan, tapi kemudian ia sadar ia finish di tempat pertama. 

    “Kerja bagus Matsuyama! Tidak salah kami menunjukmu,” puji ketua kelasnya sambil menepuk pundak Akito, saat ia kembali ke tempat berkumpul teman-teman sekelasnya.

    “Larimu memang cepat ya!” puji temannya yang lain. 

    Akito tertegun selama beberapa saat. Jadi, ia bukannya ditunjuk sembarangan oleh teman-temannya, tapi karena kemampuannya? “Ehh… kalian… menunjukku karena itu?” tanya Akito. 

    “Tentu saja. Memangnya karena apa lagi?” ujar salah seorang temannya, sementara beberapa yang lainnya memasang wajah bertanya-tanya. 

    Akito ragu-ragu untuk menjawab, “Kukira kalian malas ikut festival, makanya…” 

    “Yah, itu juga sih sebenarnya,” celetuk salah seorang temannya,  yang diikuti tawa hambar teman-teman yang lain. 

    “Tapi OSIS sudah berusaha membuat acara ini, selain itu kita juga sudah latihan, kan? Jadi…” Akito tercengang, ternyata semuanya ingin ikut festival olah raga.

    “Bukannya kebanyakan main daripada latihan?” celetuk yang lainnya, dan semuanya tertawa. 

    “Tapi yang seperti ini memang menyenangkan, ya!”

    Akito merasa ringan karena ternyata teman-temannya percaya padanya. Selain itu semuanya terlihat menikmati festival, Akito sangat senang karena usaha Yukino benar-benar sudah berhasil. Dan ini membuat keinginan Akito semakin kuat untuk segera bertemu Yukino.

    “Aku sih mau simpan tenaga untuk lomba khusus.” Tiba-tiba para anak laki-laki membicarakan lomba khusus. Akito ingat tentang lomba itu. Lomba yang pemenangnya akan pacaran dengan Yukino selama sehari.

    “Hee? Kau mau ikut lomba itu juga?” 

    “Kau juga?” 

    “Tentu saja! Siapa yang tidak mau pacaran dengan Suzuki-san?” 

    “Oh! Kau tulis itu di polling ya?” 

    “Aku juga! Walau cuma sehari aku mau pacaran sama Suzuki-san!” 

    “Benar, siapa tahu dalam waktu sehari itu Suzuki-san jatuh cinta padaku!” 

    “Gak mungkin! Aku yang akan dapat kesempatan itu, aku pasti juara!” 

    “Gak, aku! Aku yang akan menang!”

    “Bukan! Pasti aku!” Seketika suasana menjadi panas. Ternyata hampir semua anak laki-laki ikut lomba khusus. Kalau begini, bagaimana jadinya lomba khusus nanti?

    “Matsuyama-kun, kau juga ikut lomba khusus?” salah seorang anak perempuan bertanya pada Akito. Ia tak langsung menjawab, teringat betapa populernya Yukino. Benar-benar sangat berbeda dengannya. Tapi gadis populer itu berkata ia menyukai Akito, dan Akito sendiri sudah sadar jika selama ini ia terlalu meremehkan dirinya sendiri. Dan sekarang ia ingin lebih percaya pada dirinya sendiri. 

    “Iya. Aku juga ikut,” jawab Akito dengan suara yang tenang namun mantap. Beberapa anak perempuan yang ada disana masih tertegun mendengarnya saat Akito berjalan pergi. “Eh…? Yang tadi Matsuyama-kun?”

    [***]

    “Kazuki!”

    Kazuki baru berbalik ketika ia mendengar suara Akito memanggil. Sebenarnya dari jauh ia sudah melihat Akito datang menghampirinya. Tapi saat ini mereka sedang ‘bertengkar’, atau begitulah seharusnya. Kazuki sebenarnya sudah tidak marah lagi pada Akito. Hanya saja ia sedih karena temannya itu tak menghargai dirinya sendiri.

    “Kau kemana saja?” tanya Akito setelah beberapa saat keduanya hanya saling diam. “Aku tidak enak badan, jadi aku istirahat di ruang kesehatan,” jawab Kazuki tanpa melihat Akito.

    “Jangan bohong. Aku sempat ke sana dan kau tidak ada,” timpal Akito dengan nada biasa, dan Kazuki hanya menjawab dengan mengangkat bahu sambil tersenyum kecil. 

    “Kau tahu, gara-gara kau menghilang, aku disuruh ikut lomba menggantikanmu,” lanjut Akito dengan nada kesal yang dibuat-buat. 

    “Begitukah? Maaf soal itu,” kata Kazuki dengan nada menyesal yang juga dibuat-buat. Kazuki hanya berdiri diam disana, sementara Akito memandangnya dengan mata menyipit.

    Tak lama kemudian, Akito menghela napas sambil mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. “Ini,” katanya sembari menyodorkan sebuah amplop pada Kazuki. Kazuki tak mengambil amplop itu, juga tak berkata apa-apa. Ia hanya memandang Akito dan amplop itu bergantian. “Kau sedang berhutang, kan? Ini kupon makan siang gratis di kantin selama seminggu. Setidaknya bisa membantumu berhemat bulan depan.” 

    Tepat setelah Akito menyelesaikan ucapannya, Kazuki menyambar amplop itu dari tangan Akito. “Terima kasih, Akito-sama!” ujarnya dengan nada riang. Kazuki melihat Akito melongo, dan tertawa terkekeh. “Aku tahu kau akan memenangkannya untukku. Tapi lebih bagus lagi kalau kau bisa menangkan hadiah uangnya juga,” katanya. 

    “Kau itu ya…” geram Akito kesal, sementara Kazuki tertawa. Akito hanya bisa menghela napas, tak tahu harus bagaimana lagi menghadapi temannya yang satu ini. 

    “Kazuki, besok aku akan ikut lomba khusus.”

    [***]

    Note: It’s really reallly been a loongg time, isn’t it? I am very sorry for anyone who has been read and follow this story. I am such a slow writer. Since I’ve got more free time lately I will try to post at least one chapter every 2 weeks, or a month maybe.

    Manga Review: The Ancient Magus Bride

    “Behind the thick veil, on the other side of the dowdy wall, the trees are obscured by mist. That world breathes right next to ours.” – The Ancient Magus Bride

    image

    Hatori Chise, seorang gadis yatim piatu berusia 16 tahun, baru saja dibeli dalam sebuah lelang. Ia dibeli oleh sesosok pria aneh yang (secara harfiah) berkelapa tulang. Tempat ia dilelang pun adalah sebuah tempat aneh dimana yang dilelang adalah mahluk-mahluk yang seharusnya hanya ada dalam dongeng, seperti elf dan werewolf. Meski begitu, Chise yang sejak kecil memang mampu melihat mahluk-mahluk tak kasat mata, tak merasa terkejut.

    Pria yang membelinya lalu memperkenalkan dirinya sebagai Elias Ainsworth. Elias adalah seorang magus atau penyihir, dan ia membeli Chise untuk menjadikannya seorang murid. Chise pun pindah ke rumah Elias di Inggris dan memulai pelatihannya.

    Saat Chise, yang sejak kecil hidup berpindah-pindah dari satu sanak saudara ke yang lainnya karena tak diinginkan, mulai terbiasa dengan dunia barunya yang dipenuhi mahluk negeri dongeng seperti peri dan naga, Elias berkata bahwa ternyata ia tak hanya berniat menjadikan Chise sebagai murid, tetapi juga seorang istri…

    [***]

    Hello! It’s been a really long time! I’ve been a bit very busy lately, and I finally have some time to write, but well… Ok, enough about me! Today it’s a review again! This time, it’s about a magical sweet and beautifull manga by Yamazaki Kore-sensei!

    Manga ini berhasil memikat saya hanya dengan chapter pertamanya. Suasana ajaib dan misterius sangat terasa ketika membacanya, dan membuat saya langsung jatuh cinta! Chise adalah tokoh gadis yang kuat dan pemberani. Meski dihadapkan pada situasi yang menyeramkan ia hampir tak pernah panik. Lalu mengenai Elias, well… awalnya saya merasa agak aneh dengan penampilannya yang tak biasa dan ekspresinya yang sulit dibedakan (it can’t be help since he’s boneheaded), tapi saya dengan cepat berbalik jadi menyukainya karena sifatnya yang sangat protektif terhadap Chise. Ia juga perlahan-lahan menumbuhkan perasaan sayang terhadap Chise dimana ia sendiri kadang tak mengerti akan perasaannya, dan itu membuatnya terlihat menggemaskan.

    Dari segi cerita, manga ini sangat menarik. Ada banyak hal-hal mengenai sihir yang sudah sering manjadi elemen dalam beberapa kisah-kisah bertema serupa, tapi Yamazaki-sensei mampu membuat hal-hal tersebut memiliki kesan yang jauh lebih misterius. Gaya gambar sensei juga sangat pas dengan cerita. Membuat suasana dan penggambaran cerita menjadi semakin terasa ajaib. Lalu yang unik lainnya dari manga ini adalah judul setiap chapter-nya yang merupakan peribahasa atau pepatah yang berkaitan dengan cerita dalam chapter tersebut. Semua hal tersebut membuat saya merasakan kesan yang sama seperti saat sedang membaca Harry Potter series, saat membaca manga ini. Pokoknya manga ini sangat cocok untuk penggemar gerne fantasy bertemakan sihir seperti saya!

    image

    Manga’s Details:

    • Author/Artist : Yamazaki Kore
    • Genre : drama, romance, slice of life, fantasy
    • Status : ongoing

    Manga Review: The Emperor’s Gem

    “Kalau kau tidak ada, hidupku tidak akan berarti.” – Shiki

    shikikouran1

    Kekaisaran Shou adalah sebuah negara dimana sebagian besar penduduknya merupakan warga miskin. Meski begitu pemerintah tetap memungut pajak yang besar dan tak segan-segan berlaku kasar apabila ada yang terlambat atau tak bisa membayar.

    Kouran, yang hanya seorang gadis desa, nekat ingin menyusup ke istana demi mencuri harta kaisar karena tak tahan dengan perlakuan pemerintah. Ketika akhirnya ia berhasil memasuki istana, ia bertemu dengan sesosok pria tampan yang terburu-buru pergi lewat jendela. Kouran yang terkejut karena kemunculan pria itu, lalu tertangkap oleh penjaga istana, dan akhirnya dilempar keluar sebelum sempat mencuri apapun.

    Keesokan harinya, beredar berita di ibukota bahwa putra mahkota telah dibunuh, dan pembunuhnya masih belum tertangkap. Kouran pun teringat, jangan-jangan pria misterius yang dilihatnya kemarin adalah sang pembunuh?!

    Tergiur oleh hadiah uang yang akan didapatnya jika berhasil menangkap sang pembunuh, Kouran pun berniat mencarinya. Ia mendapat firasat jika pria itu mungkin bersembunyi di gunung di dekat desa, maka ia pun pergi ke sana. Dan benar saja, Kouran menemukan pria itu di sana. Hanya saja, dalam keadaan pingsan dan terluka parah.

    Niat Kouran awalnya adalah menangkapnya selagi ia pingsan. Tapi ternyata ia memang tidak bisa membiarkan orang yang sedang terluka. Kouran pun akhirnya malah merawat luka pria itu.

    Berkali-kali Kouran meyakinkan dirinya untuk menangkap pria yang memperkenalkan diri sebagai Shiki itu. Tapi senyum lembut dan sikap Shiki yang baik hati, membuat Kouran ragu. Benarkah Shiki adalah orang yang membunuh putra mahkota? Siapa sebenarnya Shiki? Saat itu Kouran masih belum sadar bahwa pertemuannya dengan Shiki akan membawa perubahan besar.

    [***]

    Hi! It’s a review again! 😀 This time it’s about a sweet romance manga by Emiko Nakano-sensei!

    Seperti yang sudah bisa ditebak, saya tertarik pada manga ini karena art-nya (well, for me art style is still the most influential thing, i guess). Tapi setelah membacanya, saya jadi sangat menyukai gaya Nakano-sensei dalam mengolah cerita dalam manga ini, walau temanya sudah banyak digunakan sebelumnya. Seperti manga romance dengan setting kerajaan lainnya, ada plot yang melibatkan politik di dalamnya, meski tak terlalu berat.

    Yang membuat manga ini spesial adalah kedua tokoh utamanya. Jujur, sampai sekarang saya sangat jarang menemukan sepasang karakter utama yang “seimbang”. Kouran maupun Shiki sama-sama memiliki sifat baik hati yang membuat mereka disukai semua orang. Mereka juga tanpa sadar memiliki sifat lebih memikirkan orang lain dibanding diri sendiri. Selain itu, mengikuti kisah cinta mereka membuat saya merasa meleleh karena hubungan mereka yang over sweet.

    Dan yang paling penting, tentu saja, gambar Nakano-sensei yang indah. Saya menyukai gaya sensei dalam menggambar karakter laki-laki, yang membuat manga ini penuh dengan ikemen! XD

    Manga dengan judul asli “Mikado no Shihou” ini telah diterbitkan di Indonesia oleh penerbit Elex Media Komputindo.

    shikikouran2

    Manga’s Details:

    • Author/Artist : Emiko Nakano
    • Genre : drama, romance, slice of life, historical, fantasy
    • Status : complete

    Beauty Loves The Beast: part 6

    Langit sudah gelap. Berkas orange cahaya matahari sudah menghilang di cakrawala. Entah sudah jam berapa sekarang, saat Akito Matsuyama berjalan pulang sendirian di jalan yang lengang.

    Akito baru sadar bahwa belum ada seorang pun yang pulang, setelah sampai di depan pintu rumah dan mendapati pintu itu masih terkunci. Akito berusaha menemukan kunci pintu miliknya di dalam tas. Tapi kunci itu tak juga ditemukannya. Akito yang kesal lalu menumpahkan seluruh isi tasnya ke lantai. Kunci itu akhirnya terjatuh berdenting.

    Akito berjongkok hendak memungut kunci, juga isi tasnya. Hari ini terasa jauh lebih melelahkan dan menyesakkan. Sebelumnya semua juga tak ada yang berjalan baik baginya, tapi hari ini skenario terburuk benar-benar terjadi.

    Dengan tenaga yang berlebihan, Akito menjejalkan semua isi tasnya kembali, membuka kunci, dan membanting pintu tertutup kembali. Ia berjalan cepat menaiki tangga ke kamarnya di lantai dua, lalu langsung menjatuhkan dirinya di tempat tidur. Ia lelah, ia ingin langsung terlelap tidur. Tapi keheningan di sekelilingnya juga bibirnya yang masih terasa perih, justru membuat bayangan wajah Yukino yang menangis kembali menghantui pikirannya.

    ‘Sial!Akito berkali-kali mengutuk dirinya. Sayang, itu tidak akan bisa memperbaiki apapun.

    [***]

    “Hiks…”

    Ada yang menangis…? Siapa?

    “Hiks… Hiks…”

    Oh, kamu ya… Hei, gadis kecil, ada apa? Kenapa menangis?

    “Hiks… Hiks… Uuuh…”

    Sudah, sudah. Berhentilah menangis. Tidak apa-apa. Kamu sudah tidak apa-apa.

    “Ta-tapi… Hiks… Kamu…”

    Aku? Aku baik-baik saja kok… Eh..? Apa ini? Ada sesuatu di kepalaku…

    [***]

    “…kito! Akito bangun!”

    Akito terkejut dan matanya langsung terbuka lebar. Masih bingung dengan apa yang terjadi, ia mendapati ibunya membungkuk di depannya dengan wajah khawatir.

    “Kamu baik-baik saja?” tanya ibunya.

    Butuh semenit penuh bagi Akito untuk bisa menjawab, “Ah… Ya,” meski ia tak mengerti mengapa ibunya bertanya demikian.

    “Kamu mengigau sampai menangis,” kata ibunya seolah membaca pikiran Akito.

    Tangan Akito otomatis terangkat ke wajahnya dan ia merasakan pipinya basah oleh air mata. Selain itu ia juga berkeringat banyak sekali. Akito tak ingat mimpi buruk apa yang dialaminya, tapi ia yakin mimpi itu pasti tentang kejadian hari ini.

    “Akito, apa terjadi sesuatu di sekolah?” tanya ibunya khawatir. Ia menyadari ada luka di bibir Akito.

    “Eh? Ah, tidak, tidak ada apa-apa. Semua baik-baik saja,” Akito cepat-cepat menghapus air mata yang tersisa. Ia tidak ingin dan tidak tahu cara yang tepat untuk menjelaskan hal ini pada ibunya. Jadi ia berbohong sambil sebisa mungkin memasang senyum seperti biasa.

    Usaha Akito sia-sia. Kening ibunya malah berkerut dan tatapannya berubah tajam. “Jadi memang terjadi sesuatu. Katakan pada ibu apa yang terjadi.”

    Akito terdiam, bingung harus berkata apa. Ibunya menjadi overprotective sejak Akito mengalami kecelakaan beberapa tahun lalu. Akito sendiri tak begitu ingat apa terjadi yang waktu itu. Ibunya hanya berkata jika Akito hampir tertabrak mobil dalam perjalanan pulang selepas sekolah.

    Akito mengerti mengapa ibunya menjadi seperti itu mengingat ia adalah anak tunggal. Tapi sekarang sudah tidak lagi. Sejak ibunya menikah lagi, ia mendapatkan dua saudara tiri yang usianya tak jauh berbeda dengannya, dan sekarang, sebentar lagi ia akan mendapatkan seorang adik baru. Selain itu, Akito sudah duduk di bangku SMA. Ia yakin ia bisa menjaga dirinya sendiri.

    “Tidak ada apa-apa, bu. Sungguh,” Akito berusaha meyakinkan ibunya.

    “Bibirmu terluka. Apa itu gara-gara kamu berkelahi?” tanya ibunya, masih mengerutkan kening. Ia menyentuh bibir Akito yang terluka, dan kerutan di keningnya semakin dalam saat ia melihat Akito meringis.

    “Luka ini bukan apa-apa, dan aku terluka bukan karena itu,” sahut Akito cepat-cepat mengelak. Jika ibunya tahu alasan sebenarnya, entah apa yang akan terjadi. “Aku tadi ikut membantu persiapan festival olah raga, dan kurang hati-hati, jadi…”

    Setelah beberapa menit dalam keheningan, ibunya menghela napas. “Ya, sudah kalau begitu. Lain kali kamu harus lebih hati-hati,” katanya akhirnya. “Ganti pakaianmu dan mandilah. Makan malam akan siap sebentar lagi,” lanjut ibunya seraya beranjak ke pintu kamar. “Baik,” sahut Akito.

    Ketika membuka pintu kamar, ibunya mendadak berhenti. “Akito, ibu tahu kamu merasa kalau ibu terlalu ikut campur, tapi ibu hanya tidak ingin kamu mengalami kejadian buruk lagi,” gumamnya tanpa menoleh. Namun Akito tahu ibunya sungguh-sungguh mengkhawatirkannya, membuatnya merasa bersalah karena sudah berbohong.

    Meski begitu, Akito juga tak ingin membebani ibunya dengan masalah yang dialaminya. “Ibu, aku sama sekali tidak merasa begitu. Aku senang ibu memperhatikanku,” Akito terdiam sejenak, “Tapi, aku sudah tidak apa-apa. Ibu tidak perlu khawatir.”

    Ibunya menoleh, memandang wajah putranya dengan tatapan sedih. “Maaf,” bisik ibunya lirih.

    “Ibu, kenapa ibu minta maaf?” Akito selalu merasa ada rasa bersalah yang tersirat setiap kali ibunya memandangnya. Akito tidak tahu mengapa ibunya seperti itu dan itu membuatnya sedih. Ia ingin bertanya, tapi ibunya sepertinya tidak ingin membicarakannya dan selalu menghindari topik itu. “Nah, cepatlah mandi,” katanya lalu menutup pintu kamar.

    [***]

    Pukul 4 pagi, dan Akito sudah sepenuhnya terjaga. Sudah beberapa hari ini Akito tak bisa tidur nyenyak. Beberapa kali ia terbangun karena mimpi buruk, tapi ia tak ingat mimpi seperti apa itu.

    Setelah kejadian waktu itu, Akito tetap pergi ke sekolah karena tak ingin membuat ibunya khawatir. Meski begitu, ia tak tahu harus bersikap bagaimana mengingat ia sekelas dengan Yukino maupun Kazuki. Ia tak tahu harus berwajah bagaimana ketika bertemu mereka. Tapi, entah ini hal yang baik atau justru hal yang buruk, karena sampai kemarin Akito sama sekali tak bertemu dengan mereka. Saat jam pelajaran juga jam istirahat, Yukino maupun Kazuki tidak pernah datang ke kelas.

    Wajar jika Yukino absen, ia mungkin sangat sibuk dengan persiapan festival olah raga sampai ia tak sempat menghadiri kelas. Tapi Kazuki? Apa mungkin ia membolos karena menghindari Akito? Tidak, tidak mungkin. Jika ada seseorang yang ingin menghindari seseorang saat ini, maka Akito-lah orangnya.

    Waktu terus berlalu seperti itu beberapa hari ini. Membuat perasaan Akito semakin berat dan semakin sesak. Semakin lama ia semakin takut untuk datang ke sekolah. Takut jika ia harus bertemu dengan salah satu dari mereka. Takut karena ia sudah membuat Kazuki marah dengan sikapnya yang pengecut. Takut karena ia sudah membuat Yukino terluka dengan kata-katanya yang rendah.

    Wajah Yukino saat itu kembali menghantui pikiran Akito. Hatinya terasa perih setiap kali ia mengingatnya. Tidak, tidak boleh seperti ini terus, pikir Akito. Ia tak ingin melihat Yukino menangis. Ia ingin agar Yukino selalu tersenyum.

    Akito menghela napas panjang. Hari ini adalah hari pertama festival olah raga. Yukino pasti hadir di acara pembukaan nanti sebagai ketua OSIS. Karena itu, hari ini Akito akan menemui Yukino. Benar, inilah yang terbaik, Akito sudah memutuskan. Aku akan minta maaf dan mengakhiri semuanya.

    Manga Review: Chichi Kogusa

    “Don’t worry. As long as you can smile like that, papa’s going to stay healthy and do his best. Everything will be okay. For me, that’s the best medicine by far. Remember that, okay?” – Torakichi to his son, Shirou

    chichikogusa_01

    Bercerita tentang seorang penjual obat keliling bernama Torakichi, yang memiliki hubungan yang agak canggung dengan putra kecilnya, Shirou, karena ia terlalu sering melakukan perjalanan jauh akibat pekerjaan. Setelah istrinya, Shiori meninggal, ia memutuskan untuk membawa serta Shirou dalam perjalanannya dan mencoba untuk lebih dekat dengan putranya.

    Torakichi yang tak terlalu pandai menghadapi anak kecil, kesulitan mengurus Shirou yang baru berusia 3 tahun. Shirou hampir selalu menangis selama perjalanan, dan Torakichi sering kebingungan karenanya. Karena hal inilah, kakak perempuan Torakichi, menentangnya membawa serta Shirou dan mengancam akan menjemput Shirou.

    Meski begitu, dengan bantuan orang-orang di sekitarnya, para pelanggannya, rekan sesama penjual obat, serta burung elang rekan seperjalanannya, Torakichi berusaha untuk bisa mengerti dan lebih dekat dengan Shirou.

    [***]

    Heloo! It’s manga review again! This time is about a cute manga by Tagawa Mii-sensei. Berawal dari rasa bosan menbaca cerita bertema romance, saya mencoba menbaca manga yang dalam bahasa Inggris berjudul “Father and Child Grass” ini, dan langsung jatuh cinta. Hubungan canggung antara ayah yang terlalu sibuk bekerja dengan anaknya, mungkin sudah sering ditemukan dalam sebuah cerita tak hanya pada manga. Tapi manga ini adalah satu-satunya yang sejauh ini saya temukan, yang mengangkat hal tersebut sebagai tema utama.

    Perkembangan hubungan Torakichi dan Shirou sangat menarik untuk diikuti. Saya sangat tersentuh dengan perjuangan serta rasa sayang Torakichi pada Shirou yang semakin lama semakin besar. Bagaimana prioritas Torakichi berubah dari “bagaimana agar Shirou berhenti menangis” menjadi “bagaimana agar Shirou bisa selalu tersenyum”; bagaimana interaksinya dengan Shirou perlahan merubah sudut pandangnya menjadi lebih luas; bagaimana perjalanannya dengan ayahnya membuat Shirou yang cengeng menjadi anak yang kuat; semua hal tersebut diceritakan dengan rapi dalam setiap chapter-nya, yang tak pernah gagal membuat saya tersentuh (baca: menangis).

    Hal menarik lainnya yang saya temukan adalah bahwa tumbuhan-tumbuhan obat yang muncul di manga ini benar-benar memiliki khasiat dan masih digunakan sebagai bahan obat hingga saat ini. Gambar yang rapi dan cukup detail, serta keimutan Shirou yang diluar batas, membuat manga ini dengan cepat menjadi favorite saya.

    chichikogusa_002

    Manga’s Details:

    • Author/Artist : Tagawa Mii
    • Genre : drama, slice of life, historical
    • Status : ongoing