A Flavour of Life

Beranda » Posts tagged 'school life'

Tag Archives: school life

Beauty Loves The Beast: part 10

​“Suzuki-chan, kau di sana?”

Yukino mengerjap. Ia dipaksa sadar dari lamunannya oleh suara yang tiba-tiba memanggilnya. Ia mengenali suara itu, jadi ia merangkak keluar dari bawah meja dan menyapa Kazuki. “Aku di sini.”

“Syukurlah. Kukira kau benar-benar pulang,” kata Kazuki seraya ia berjalan menghampiri Yukino.

“Aku ketua OSIS, mana mungkin aku bisa pulang,” gumam Yukino sambil menarik salah satu kursi dan duduk.

“Kau bilang begitu, tapi kau tidak hadir di upacara pembukaan.” Kazuki berjalan melewati Yukino, ke arah jendela. Ia menatap lapangan di bawah tempat para siswa berlomba. Saat ini lomba lari estafet sedang berlangsung, dan Kazuki bisa melihat Akito sedang berdiri di salah satu jalur lomba sebagai salah satu peserta dari Grup Putih. “Apa karena kau tak ingin bertemu dengannya?”

Yukino tak menjawab pertanyaan Kazuki.

“Kau ingin mengakhirinya?”

Yukino terkejut oleh pertanyaan terakhir yang dilontarkan Kazuki. “Tidak! Tentu saja tidak,” jawabnya cepat.

Kazuki tersenyum sedih. Ia masih menatap ke arah lapangan, kini Akito telah menerima tongkat estafet dan sedang berlari menuju garis finish. “Dia tak akan kembali jadi ‘Akkun’. Kau tahu itu.”

“Meski begitu, aku ingin tetap bersamanya,” gumam Yukino. Ia berusaha menyembunyikan rasa sedih yang ia rasakan dalam nada suaranya. Tapi tampaknya tak berhasil. Kazuki menangkap semuanya dengan jelas.

Saat Akito mencapai garis finish di posisi kedua, Kazuki berbalik menghadap Yukino. “Kenapa?” gumamnya pelan.

Yukino mendongak menatap Kazuki karena mendengar nada suara Kazuki yang berubah. Ia mendapati Kazuki sedang menatapnya dengan raut wajah serius yang tidak biasa. “Kenapa kau tetap ingin bersamanya? Kau tahu itu hanya akan menyakitimu?” Kazuki memperjelas pertanyaannya.

Yukino termenung. Dulu pernah ada seseorang yang bertanya hal yang mirip seperti ini. Orang itu juga memasang wajah serius, tapi nada suaranya terdengar kesal. Mungkin ia kesal karena Yukino terlihat seolah membiarkan dirinya sendiri tersakiti tanpa alasan. Tapi bagi Yukino, yang ia lakukan bukannya tanpa alasan.

Dulu, ia membiarkan dirinya di-bully bukan karena ia tak mampu melawan. Ia hanya tak ingin membuat ibunya bersedih. Jika ia melawan dan para guru mengetahui mereka berkelahi, sekolah akan memanggil orang tua mereka semua untuk menyelesaikannya. Jika itu terjadi, maka itu akan menjadi masalah bagi ia dan ibunya. Jadi Yukino berusaha untuk bertahan, dan berharap jika suatu saat para pem-bully itu akan bosan padanya lalu menghentikan semua yang mereka lakukan.

Dulu, ia melakukannya karena ia menyayangi ibunya. Ia tak ingin melihat ibunya menangis lagi. Sudah cukup ibunya menangis saat ayahnya meninggalkan mereka. Maka Yukino membiarkan dirinya menerima semua perlakuan itu demi menjaga senyuman ibunya. Tapi sekarang…

“Sudah cukup bukan? Akito menjadi seperti ini bukan karena kesalahanmu.” Suara Kazuki kembali terdengar. Yukino masih tak berkata apapun.

Memang tak ada seorang pun yang menyalahkannya. Semua orang berkata itu adalah kecelakaan. Tapi itu justru membuat Yukino semakin tersiksa. Itu karena ia sadar ialah penyebab semua itu. Ialah yang telah menghancurkan ‘Akkun’.

[***]

Sejak kejadian yang terjadi saat Yukino dicegat para anak nakal, Akito jarang mengajak Yukino makan siang bersama lagi. Yukino yakin ia marah karena Yukino tak menjawab pertanyaannya waktu itu. Selain itu, Yukino juga lupa mengucapkan terima kasih. Jika diingat kembali, Yukino bahkan tak pernah mengucapkan terima kasih satu kali pun pada Akito, walau ia sudah banyak sekali menolongnya.

Yukino benar-benar yakin ia sudah membuat Akito marah, dan sudah siap menerima jika Akito tak ingin berteman dengannya lagi. Tapi saat Akito berkunjung ke kelasnya dan bersikap biasa saja, Yukino merasa benar-benar lega dan senang. Hari ini pun mereka akan makan siang bersama di atap sekolah.

“Icchan kemana?” tanya Yukino saat mereka sudah sampai di atap dan duduk. Ia melihat berkeliling tapi tetap tak menemukan sosok Icchan di manapun.

“Hari ini Icchan tak bisa ikut makan siang dengan kita,” jawab Akito sambil membuka kotak bekalnya.

“Oh, begitu,” gumam Yukino sementara ia mengingat. Akhir-akhir ini Icchan hampir tak pernah makan siang bersama mereka lagi. Entah apa alasannya, Akito tak pernah berkata apapun, Yukino juga tak pernah menanyakannya. Karena itu mereka jadi sering makan siang berdua saja seperti saat ini, dimana tak ada seorang pun kecuali mereka di atap sekolah.

Sadar bahwa ia hanya berduaan dengan Akito, mendadak membuat Yukino gugup. Jantungnya mulai berdegup dua kali lebih cepat, saat ia menyadari bahwa ia duduk sangat dekat dengan Akito. Yukino bingung, keanehan apa yang saat ini sedang dialaminya? Akhir-akhir ini ia sering merasa seperti ini jika ia berada di dekat Akito. Apakah ia sedang sakit? Tidak, sepertinya tidak begitu. Meski merasa aneh Yukino tak membenci apa yang ia rasakan. Ia justru merasa senang. Ia senang makan siang bersama Akito. Ia senang berbicara dengan Akito. Ia senang Akito tersenyum padanya.

Tak terasa setahun pun berlalu. Yukino kini duduk di kelas 5, dan ia sekelas dengan Akito dan Icchan. Ia benar-benar senang karena bisa sekelas dengan mereka. Selain itu, ia juga tak sekelas lagi dengan anak-anak nakal yang selalu mem-bully-nya. Para pem-bully pun kini mulai berhenti mengejek dan mengganggu Yukino. Ia merasa bahwa ini mungkin kesempatan yang baik baginya untuk menambah teman dan memperbaiki kehidupan sekolahnya. Hari ini adalah hari pertama di tahun ajaran baru, dan Yukino merasa bersemangat.

Sayangnya semangat itu memudar saat ia menyadari sikap aneh Icchan. Ia menyadarinya saat jam pelajaran berlangsung dan guru mereka memberitahu mereka untuk membentuk kelompok yang terdiri dari tiga orang. Saat ia menghampiri Icchan hendak mengajaknya bergabung dengan kelompoknya dan Akito, ia melihat rauh wajah Icchan berubah aneh dan ia cepat-cepat meminta pada temannya yang lain untuk memasukkannya dalam kelompok mereka.

Meski akhirnya Icchan bergabung ke kelompoknya dan Akito, sikap Icchan sebelumnya jelas menunjukkan kalau ia enggan sekelompok dengan mereka. Selain itu, selama mengerjakan tugas berkelompok, sikap Icchan jelas-jelas berubah. Ia jadi sangat pendiam dan tampaknya merasa tak nyaman selama berada di dekat mereka, terutama Akito. Ia berkali-kali melirik dengan tatapan awas ke arah Akito, seolah-olah Akito akan melakukan sesuatu padanya.

Semua itu membuat Yukino bertanya-tanya apakah mereka berdua sedang bertengkar. Namun melihat sikap Akito yang biasa-biasa saja, Yukino mengurungkan niat untuk bertanya. Keadaannya mungkin justru akan menjadi semakin buruk jika ia ikut campur urusan mereka. Tapi tetap saja, Yukino tak bisa menghilangkan rasa khawatirnya. Ia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ia ingin membantu mereka berdua.

“Hei, ada yang bisa membuang sampahnya?”

Yukino tersentak. Ia hampir lupa jika saat ini ia sedang bertugas piket sepulang sekolah. “A-ah, iya! Biar aku yang melakukannya.” Yukino cepat-cepat mengangkat dan membawa tempat sampah yang sudah penuh itu ke tempat pembuangan di belakang sekolah. Sesampainya di sana, ia menemukan sesuatu yang seharusnya tak ada di sana.

Yukino terkejut. Ia mengambil benda itu dengan cepat dari antara tumpukan sampah. Sebuah buku catatan, dan di sampulnya tertulis nama ‘Akito Yoshikawa’. Mendadak seluruh tubuh Yukino merinding. Pikirannya mulai membentuk sebuah alasan mengerikan yang menjelaskan sikap aneh Icchan tadi pagi.

Setengah sadar, ia berlari meninggalkan tempat itu menuju ke kelas. Begitu sampai di kelas dan tak menemukan Akito di sana, ia berlari untuk mencarinya di seluruh sekolah. Saat itulah ia menemukan telah terjadi keributan di dekat tangga di lantai 2. Sepertinya ada anak yang sedang berkelahi. 

Yukino merasakan firasat buruk. Ia pun berusaha menerobos kerumunan siswa yang memenuhi tempat itu untuk melihat lebih dekat. Benar saja, yang sedang berkelahi di sana adalah Akito dan salah satu anak yang dulu selalu mem-bully-nya.

Yukino benar-benar terkesiap melihat keadaan mereka. Wajah mereka sudah babak belur. Bahkan bibir dan hidung Akito mengeluarkan darah. Ia tidak tahan melihat keadaan Akito, dan tanpa sadar berlari ke arah mereka untuk menghentikan perkelahian.

“Hei, kalian! Hentikan! Sudah cukup!”

Sebelum Yukino sempat mencapai mereka. Suara lantang seorang guru lebih dahulu menghentikan gerakan mereka. Yukino lega melihat ada beberapa guru yang datang. Murid-murid yang bergerombol untuk menonton pun mulai berlarian meninggalkan tempat itu. Tapi saat perhatian semua orang teralih kepada guru-guru yang datang, sesuatu terjadi diikuti oleh suara benturan keras.

Sedetik tak ada yang bergerak maupun bersuara, kemudian…

“KYAAAAAHH!!!”

Suara teriakan itu bagai sebuah bom. Seorang guru berlari dan menangkap anak yang berkelahi dengan Akito. Seorang lagi berusaha menjauhkan anak-anak lain yang masih berada di sana. Sisanya berlarian menuruni tangga. Yukino yang tak menemukan Akito di manapun, tak bisa melepaskan pandangannya dari arah tangga. Ia melangkah perlahan menuju tangga, kakinya gemetaran.

Tidak, tidak mungkin. Akkun tidak…

Pikiran Yukino langsung kosong begitu ia melihat apa yang ada di dasar tangga. Itu Akito. Ia tergeletak di sana, tak bergerak, dengan darah merembes keluar dari kepalanya.

Beauty Loves The Beast: part 9

Keesokan harinya, Yukino memberanikan diri untuk berkeliling mencari Akkun dan Icchan, walau harus menghadapi tatapan tak menyenangkan dari sekelilingnya.

“Oh!” Akkun-lah yang pertama melihat Yukino. Ia terlihat sedang berbicara dengan beberapa anak lainnya melalui jendela di sebuah kelas. Yukino melirik papan nama ruang kelas itu. Ternyata ia juga kelas 4, kalau begitu ia tidak mungkin tidak tahu soal Yukino…

“Hei, ada perlu apa?” tanya Akkun ramah setelah ia keluar ruang kelas, dan hendak berjalan menghampiri Yukino, tapi… “Hei, kau tak perlu ke sana,” tiba-tiba salah seorang dari anak yang sedang berbicara dengannya tadi, menghentikannya. Akkun memandang mereka tak mengerti, “Huh? Apa maksudmu?” gumamnya. Tapi ia tetap melangkah menghampiri Yukino.

Saat sampai di depan Yukino, Akkun menyadari tatapan takut dan awas Yukino padanya. Ia semakin tak mengerti. Lalu ia melihat tatapan itu beralih darinya ke teman-temannya, dan berubah menjadi tatapan yang jauh lebih gelap. Akkun terkejut melihatnya. Apa itu… tatapan benci? Dendam?

“I-ini!” Yukino tiba-tiba menyodorkan sesuatu. Sebuah kantong kertas kecil.

“Eh?” Akkun masih bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi. Hanya itu reaksi yang bisa ia berikan, saat Yukino langsung berlari meninggalkannya begitu menyerahkan kantong itu.

“Apa-apa itu tadi?” gumam Akkun pada diri sendiri. Ia mendengar tawa mengejek dari arah teman-temannya. “Seperti biasa, tatapannya menyeramkan seperti nenek sihir,” kata salah satu anak. “Hei, awas, nanti kau bisa dikutuk lho!” timpal yang lainnya.

Akkun kembali terkejut. Jangan-jangan anak perempuan itu benar-benar…?

[***]

Siang itu, Yukino makan siang di bawah meja di ruang PPK lagi. Tempat itu tidak digunakan kecuali saat pelajaran PKK. Jadi Yukino bisa tenang berada di sana.

Waktu jeda pelajaran tadi, ia mengembalikan saputangan Akkun yang sudah ia cuci bersih, dan saat itu Akkun sedang bersama dengan anak-anak yang pernah menertawakannya. Ia ingat wajah mereka semua walau Yukino berusaha untuk melupakannya. Keputusannya untuk mengembalikannya mungkin keputusan yang tepat. Dengan begini, ia tak berhutang padanya dan tak akan berhubungan dengannya lagi. Semua sudah selesai.

Tiba-tiba Yukino merasakan dorongan yang amat sangat untuk menangis. Entah mengapa ia merasa sangat sedih. Mungkin ini karena ia tahu, jika begini terus ia tak akan bisa bertahan lagi. Ia akan hancur tak bersisa…

“Hei! Syukurlah, ternyata kamu memang disini.”

Yukino membatu.

“Hei, ada apa? Kamu menangis lagi?”

Yukino perlahan mengangkat wajahnya. Apa ia salah dengar?

“Kamu gak apa-apa?” Akkun sedang berlutut di depannya, ia terlihat agak khawatir.

Yukino tak bisa berkata apa-apa selama beberapa saat. Melihat Yukino yang seperti itu, Akkun tertawa, “Reaksimu sama persis seperti kemarin.”

“Ke-kenapa…?” tanya Yukino tergagap saat ia menemukan suaranya kembali.

“Ah, aku mau berterima kasih karena kamu sudah mengembalikan ini, bahkan kamu sampai mencucinya. Terima kasih, ya,” katanya sambil menunjukkan saputangan yang Yukino kembalikan dan tersenyum.

Yukino kembali dibuat tak bisa berkata-kata. Tak ada yang pernah berterima kasih padanya sebelumnya. Tanpa sadar ia lagi-lagi mempertanyakan hal yang baru saja terjadi. Apa ini nyata? Apa anak laki-laki yang sedang tersenyum di depannya ini benar-benar nyata? Apa kata-kata yang ia ucapkan tadi juga nyata? Apa Yukino benar-benar tidak sedang bermimpi saat ini?

“Kenapa kamu diam saja? Haloo?” tanya Akkun sambil mengibaskan tangannya di depan wajah Yukino. Ia menggaruk-garuk kepalanya kebingungan melihat Yukino yang tak juga bereaksi. Kemudian ia mengulurkan tangannya pada Yukino. “Oh, ya. Aku belum tahu namamu. Siapa namamu?” tanyanya sambil tersenyum ramah.

Yukino memandang tangan Akkun selama beberapa saat. “Ke-kenapa ka-kamu mau tahu na-namaku?” tanya Yukino dengan suara yang amat kecil.

“’Kenapa’? Tentu saja karena aku ingin berteman denganmu.”

Yukino mengernyitkan alisnya. “Ke-kenapa kau ingin berteman denganku?”

“Huh? Memangnya perlu alasan kalau ingin berteman dengan seseorang?”

Yukino tercengang. “Ka-kamu… benar-benar tak tahu siapa aku?” tanya Yukino dengan suara yang mulai meninggi.

“Tidak, tidak tahu. Tapi kalau kita sudah berteman, aku akan tahu tentangmu,” jawab Akkun polos.

Yukino tak bisa membalas ucapannya. Ia hanya memandangnya tak percaya. Lagi-lagi ia kehilangan kata-kata.

“Nah, jadi siapa namamu?” tanya Akkun lagi, tangannya masih terulur pada Yukino.

Yukino terdiam beberapa saat. Lalu perlahan, dengan tangan yang agak gemetar, ia menjabat tangan Akkun dan berkata, “Yu-Yukino, Yukino Kisaragi.”

Akkun pun menyambut tangan Yukino dengan menggenggamnya erat, yang otomatis membuat Yukino terkejut. “Aku Akito, Akito Yoshikawa,” katanya riang dengan senyum secerah matahari mengembang di wajahnya.

[***]

Yukino berjalan cepat menyusuri koridor. Ia sudah terlambat untuk janji makan siang bersama di atap sekolah. Senyum Yukino mengembang seraya ia mempercepat langkahnya. Ini benar-benar sulit dipercaya. Ia akhirnya punya teman. Bahkan sudah hampir seminggu ini, ia makan siang bersama mereka. Rasanya benar-benar menyenangkan. Tak pernah Yukino membayangkan jika memiliki teman itu rasanya sangat menyenangkan seperti ini. Mereka mengobrol tentang banyak hal, bahkan sampai ke hal-hal konyol, juga saling bercanda dan tertawa bersama. Sekolah pun sekarang terlihat seperti tempat yang seratus kali lebih baik daripada sebelumnya.

Yukino benar-benar hanyut dalam pikirannnya sendiri, hingga ia tak sadar jika beberapa anak telah menunggunya. Begitu Yukino hendak melewati mereka, anak-anak tersebut langsung mencegat Yukino. Yukino terkejut dan menabrak salah seorang anak yang berdiri paling depan, hingga kotak bekalnya terjatuh.

“Hei-hei, kalau jalan lihat ke depan. Lagipula, mau ke mana kamu buru-buru begitu?” kata anak yang ditabrak Yukino dengan nada mengejek. Ia dan dua anak lainnya yang ada di sana adalah anak-anak nakal yang selalu mem-bully Yukino.

Yukino langsung merinding. Tidak ada siapa pun di sekitar mereka. Yukino sendirian. Dengan cepat ia membungkuk, hendak mengambil kotak bekalnya. Tapi anak-anak itu tak membiarkannya. Anak yang paling depan menendang kotak bekal itu ke belakang, lalu salah satu anak di belakangnya mengambilnya.

“Sepertinya kamu punya teman main baru, ya? Kamu gak lupa pada kami, kan?” katanya sambil menyunggingkan senyum mengejek.

Yukino melangkah mundur. Ia mulai gemetaran. Bagaimana ini? Apa yang sebaiknya ia lakukan? Haruskah ia berbalik meninggalkan tempat ini? Atau haruskah ia berlari menerobos mereka menuju ke atap sekolah dimana temannya menunggu?

“Ada apa? Kenapa kamu diam saja? Bagaimana jika sesekali kamu main dengan kami lagi? Kami sedikit kesepian, lho. Oh, iya. Bagaimana kalau kita mulai main sekarang saja? Pasti menyenangkan,” lanjut anak yang berdiri paling depan.

Tidak, terlalu beresiko jika menerobos, sebaiknya ia segera berbalik dan lari dari sini. Benar, lari.. Cepat… Lari…

“Hoi! Apa yang kalian lakukan?”

Mereka semua serentak menoleh ke arah asal suara keras yang tiba-tiba terdengar. Dari sana, Akito dan Icchan terlihat berlari menuju ke arah mereka. Akito terlihat marah sementara Icchan terlihat khawatir dan sedikit takut.

“Oh, kalian mau ikut bergabung main dengan kami?” tanya anak yang memegang kotak bekal Yukino dengan nada biasa, tapi wajahnya terlihat kesal. Sementara itu terdengar suara decak kesal dari salah satu anak di sebelahnya.

“Kembalikan kotak bekalnya!” Akito tak memperdulikan ucapan anak itu dan melesat ke arah mereka. Dengan satu gerakan cepat ia menyambar kotak bekal Yukino dari tangan anak itu, lalu menyodorkannya kembali pada Yukino. Semuanya hanya bisa melongo takjub melihat betapa cepatnya kejadian itu berlangsung.

“Sebaiknya kalian semua pergi dari sini, dan jangan pernah mengganggu Yuki-chan lagi!” kata Akito lantang memecah keheningan.

Ketiga anak di depannya tersentak dan langsung memasang wajah marah. “Hah?! Apa katamu?! Kami ‘kan hanya bermain!”

“Bermain apanya? Kalian laki-laki tapi bisanya cuma mengganggu anak perempuan! Kalian benar-benar payah! Menjijikan!”

Ucapan Akito berhasil membuat wajah ketiga anak itu merah padam karena amarah. Tanpa aba-aba mereka langsung maju serentak. Yukino memekik ketika mereka melayangkan pukulan mereka ke arah Akito, hendak mengeroyoknya. Tapi Akito tak bergerak sedikit pun dari depan Yukino. Tangannya terulur seolah melindungi Yukino.

Lalu tiba-tiba… “Pak Guru, ada yang berkelahi! Cepat, di sebelah sini!”

Langkah anak-anak itu otomatis terhenti. Kemudian, suara langkah kaki yang berlari menaiki tangga mulai terdengar dari arah tangga di belakang mereka. Menyadari bahwa ada guru yang akan datang, mereka mendadak panik dan langsung berlari pergi dari sana secepat mungkin.

Ketika mereka menghilang dari pandangan, Yukino langsung merasa lemas dan ia jatuh terduduk di lantai. Ia dan Akito selamat. Benar-benar beruntung.

Sedetik kemudian, ia sadar. Mereka juga harus segera pergi. Jika guru menangkap mereka berkelahi, itu tidak akan bagus. “Akkun…”

“Untung saja mereka tertipu!” Panggilan Yukino terpotong oleh dengusan Akito. Yukino mengerjap. Apa yang ia katakan tadi?

“Akkun, apa mereka sudah pergi?” Icchan yang sejak tadi tak terlihat, melongokan kepalanya dari balik dinding di tangga.

“Ya! Terima kasih ya!” Akito berkata ringan dengan senyum terpasang di wajahnya, sementara Yukino menatap mereka bergantian tak mengerti.

Akito mengulurkan tangan pada Yukino, membantunya berdiri, sambil menjelaskan. “Tidak ada guru yang datang. Tadi itu Icchan hanya berpura-pura membawa guru ke sini untuk mengusir mereka.”

Yukino tak habis pikir tentang hal nekat yang baru saja Akito lakukan. Mendadak Yukino merasa kesal. “Ka-kamu pikir apa yang kamu lakukan? Bagaimana jika mereka tak tertipu? Kamu bisa babak belur dikeroyok mereka!” omelnya tiba-tiba membuat Akito dan Icchan terkejut.

“Tapi mereka tertipu, kan? Jadi semua baik-baik saja,” kata Akito ringan sambil membentuk simbol ‘peace’ dengan jarinya.

“Kamu… seharusnya gak perlu berbuat seperti itu untuk menolongku,” gumam Yukino setelah terdiam beberapa saat. “Kamu bisa terluka.”

“Kamu sendiri, kenapa gak melawan? Kamu juga bisa terluka lagi kalau mereka dibiarkan, kan?” Akito balik bertanya. Nada suaranya terdengar kesal, dan raut wajahnya terlihat serius. “Kamu seharusnya melaporkan mereka pada guru. Tapi kamu malah membiarkan mereka dan merahasiakan ulah mereka.”

Yukino tak mampu membalas ucapan Akito karena semua itu kenyataan. Tapi ia punya alasan untuk melakukan semua itu.

[***]

Note: First, I would like to say, Happy New Year 2017 everyone! May this year be a better year than the previous year. Second, I am really very sorry for the delay of the continuation of this story. Even though I already said that I’ll update it at least a month… Really, I am very sorry. Well, if there is someone out there who still enjoy this very-slow-progress story, I would feel very happy.

Beauty Loves The Beast: part 8

Suara kemeriahan festival olah raga terdengar sangat jauh dari perpustakaan. Yukino awalnya sangat menantikan acara ini, tapi semua keantusiasannya telah menguap tak bersisa. Kini ia hanya ingin menyendiri.

Yukino sudah duduk melamun di bawah sebuah meja belajar di perpustakaan sejak persiapan untuk acara pembukaan selesai tadi pagi. Ia ingat dulu ia biasa bersembunyi seperti ini sepanjang jam istirahat sekolah, karena ia tak ingin di-bully oleh anak-anak nakal di kelasnya. Ia selalu berusaha keluar pertama saat bel istirahat berbunyi, kemudian mencari tempat untuk bersembunyi di kelas kosong, di ruang kesenian, di ruang PKK, di laboratorium IPA, atau di manapun selama mereka tak akan menemukannya.

Ia ingat betul, saat itu ia kelas 4 SD. Yukino saat SD sangat biasa-biasa saja, rambutnya pendek sedagu dengan poni yang dipotong rata. Hanya berdua dengan ibunya, Yukino tinggal di kamar sewaan dan hidup dengan sangat pas-pasan.

Sebenarnya, Yukino bukanlah putri kandung keluarga Suzuki. Saat ia duduk di bangku kelas 2 SMP, ibunya tiba-tiba memperkenalkan seorang pria yang katanya akan menjadi ayah baru Yukino. Yukino tak menyangka jika pria yang berusia lebih muda dari ibunya itu, ternyata adalah pewaris tunggal keluarga konglomerat Suzuki. Setelah ibunya menikah kembali, dan ia serta Yukino resmi menjadi bagian dari keluarga Suzuki, hidup mereka pun berubah drastis. Ayah barunya juga sangat menyayangi Yukino, bahkan bisa dibilang overprotective.

Kembali ke masa-masa Yukino saat SD, meski saat itu hidupnya berbanding 180 derajat dengan hidupnya sekarang, ia tetap bersyukur karena memiliki ibu yang sangat menyayanginya. Ibunya selalu bekerja membanting tulang demi menghidupi mereka berdua. Karena itu, meski saat itu ia di-bully habis-habisan, Yukino tak mengatakan apapun, ia tak ingin menyusahkan ibunya lebih jauh lagi.

“Cewek jelek!”

“Hei lihat! Cewek jelek datang!”

“Baju yang dipakainya selalu sama!”

“Hiih! Gak pernah dicuci ya?!”

“Pasti karena dia gak punya baju lain!”

“Sudah jelek, miskin pula!”

“Awas, jangan dekat-dekat! Nanti ketularan jeleknya!”

Hampir setiap hari ia selalu menerima ejekan seperti itu. Buku-buku dan alat tulisnya sering hilang, setiap pagi harus membersihkan mejanya yang penuh coretan mengerikan dengan spidol, sepatunya hampir setiap hari ditemukannya di tempat sampah setelah sebelumnya hilang disembunyikan, bahkan kakinya pernah sengaja disandung seseorang hingga ia terjatuh terjerembab. Tidak ada yang menolongnya, tak seorang pun, mereka malah dengan kejamnya tertawa ketika ia terjatuh. Dan ia juga ingat bagaimana ia selalu makan siang di bawah kolong meja sendirian.

Aku ingin pergi dari sini… Aku tidak mau ke sekolah lagi… Semuanya jahat padaku… Ibu… Aku takut… 

Benar, dulu ia selalu menangis ketakutan sendirian. Ia kesepian karena tak memiliki teman, dan ia tak ingin membebani ibunya yang sudah terlalu sibuk bekerja. Ia bahkan sudah tak ingat lagi apa yang menyebabkan ia mengalami semua ini. Sekolah menjadi sebuah neraka baginya. Rasa benci hampir menguasainya. Sampai suatu hari seseorang menemukannya.

[***]

“Hei, kamu sedang apa?”

“…..”

“Kenapa kamu makan siang di bawah meja?”

“…..”

“Eh?! Kenapa kamu menangis?”

“…..”

“Wah, lututmu luka ya?! Pakaianmu juga kotor, kamu gak apa-apa?”

Yukino hanya bisa melongo, pikirannya kosong, ia duduk diam disana tak bergerak sama sekali seperti patung. Ia masih tak bereaksi ketika anak itu meronggoh saku celananya dan menyodorkan saputangan padanya. Melihat Yukino yang hanya memandang dengan kosong seolah tak mengerti, anak itu lalu membersihkan wajah Yukino yang kotor oleh air mata dan ingus dengan saputangannya. Meski begitu Yukino tampaknya masih terlalu shock untuk dapat menggerakan satu jari pun.

Kemudian anak itu meronggoh lagi saku celananya, mencari sesuatu. “Hmm, sepertinya tadi aku membawa satu,” gumamnya pada diri sendiri.

Yukino memandang anak itu, mengamatinya. Apa ini mimpi? Siapa anak ini? Kenapa ia menolongnya? Kenapa ia bicara padanya?

“Akkun, kamu dimana?” Tiba-tiba terdengar suara seorang anak lainnya.

‘Akkun’ mengenali suara anak itu dan beranjak menghampirinya. “Icchan, aku disini!” panggilnya.

“Akkun? Sedang apa di ruang PKK?”

Yukino mendengar kedua langkah kaki mereka yang mendekat, dan tiba-tiba rasa takut yang amat sangat menyerangnya. Bagaimana ini? Bagaimana jika mereka juga akan mem-bully-nya? Ia harus pergi. Ia harus kabur sebelum mereka melakukannya.

Dengan terburu-buru Yukino membereskan kotak bekalnya. Ia hendak keluar dari bawah meja ketika dua anak itu tiba-tiba sudah ada di depannya. Saking terkejutnya, Yukino membenturkan kepalanya ke langit-langit  meja.

Kedua anak itu terkejut oleh suara benturan yang keras. “Kamu gak apa-apa?! Kenapa terburu-buru, sih?” tanya Akkun. Yukino tak menjawab, ia hanya memegangi kepalanya, menahan sakit. Akkun lalu menariknya keluar dari bawah meja, sementara Icchan memungut kotak bekal Yukino yang terjatuh.

“Icchan, kamu bawa plester luka, kan?” Akkun menoleh pada Icchan, saat ia sudah mendudukkan Yukino di salah satu bangku.

“Bawa, tapi untuk apa?” tanya Icchan sambil menyerahkan plester luka pada Akkun.

“Anak ini lututnya luka,” Akkun menunjuk lutut Yukino. “Boleh sekalian pinjam saputangan? Punyaku sudah kotor,” tambah Akkun. Setelah Icchan menyerahkan saputangannya, ia berjalan mengikuti Akkun ke salah satu wastafel yang ada disana.

Yukino mengamati kedua anak laki-laki itu. Kelihatannya mereka juga anak kelas 4. Anak yang dipanggil ‘Akkun’ memiliki rambut hitam pendek, sementara ‘Icchan’ berwajah manis seperti anak perempuan dan terlihat agak cengeng.

“Aduh!” Yukino bergumam kesakitan ketika saputangan yang basah oleh air dingin menyentuh lukanya.

“Tahan ya,” kata Akkun selagi ia dengan cekatan membersihkan luka Yukino, kemudian menempelkan plester luka di luka itu.

“Wah, Akkun hebat!” kata Icchan kagum.

“Ini bukan apa-apa. Ibuku yang dokter jauh lebih hebat.”

“Oh, ya? Akkun juga mau jadi dokter?” tanya Icchan.

“Gak,” jawab Akkun, membentuk tanda silang dengan kedua tangannya. Lalu ia memasang senyum penuh percaya diri dan berkacak pinggang sambil berkata, “Aku mau jadi astronot!”

“Astronot?!” Icchan memandang Akkun dengan tatapan bersinar-sinar, semakin kagum. “Hebat! Keren!”

Akkun mulai bercerita mengenai cita-citanya, dan mereka tampaknya sudah melupakan keberadaan Yukino disana. Yukino masih terlalu “takjub” sehingga yang ia lakukan hanya duduk diam disana selama beberapa menit, tak tahu apa yang harus dilakukan. Ia kemudian memutuskan untuk menyelinap pergi meninggalkan mereka. Walau tidak sopan pergi begitu saja tanpa mengucapkan terima kasih setelah ditolong, tapi ini lebih baik karena Yukino tak ingin berurusan dengan mereka lebih jauh.

Baru saja hendak berdiri, Yukino terhenti oleh panggilan Akkun, “Oh ya, kenapa kamu terluka?” Yukino membatu.

“Apa kamu gak sengaja jatuh?” tanya Akkun. Yukino hanya terdiam.

“Kenapa tidak ke UKS?” tanyanya lagi. Namun Yukino tak menjawab satu pun pertanyaan-pertanyaan itu.

Akkun dan Icchan saling pandang. “Umm… Apa kamu dijahili?” tanya Akkun hati-hati. Tubuh Yukino terlihat menegang saat Akkun menanyakannya. Tapi Yukino sendiri tetap menunduk dan diam seribu bahasa, membuat kedua anak laki-laki itu kebingungan.

“Umm… Oh ya, siapa namamu? Namaku…”

Ding dong deng dong.

Tiba-tiba bel berbunyi, menandakan waktu istirahat sudah selesai. Tapi yang membuat mereka terkejut bukan itu, melainkan teriakan Akkun. “Hari ini kan ada ulangan matematika!!” Kemudian Icchan juga ikut berteriak. “Kalau tidak cepat kembali ke kelas bisa gawat!”

Mereka berdua pun berlari keluar ruang PKK, tapi tiba-tiba Akkun berhenti di depan pintu. “Sampai besok!” katanya pada Yukino.

Langkah kaki mereka terdengar semakin menjauh, kemudian menghilang. Sekarang tinggal Yukino sendirian. Yukino masih tak habis pikir tentang apa yang baru saja terjadi. Rasanya seperti habis diterjang badai.

Meski begitu entah mengapa Yukino merasa sedikit senang.

“Sampai besok!”

Kata-kata itu… baru pertama kali ada seseorang yang mengatakannya pada Yukino. Itu seperti yang dilakukan sesama teman. Tanpa sadar muncul senyum kecil di bibir Yukino.

Teman. Yukino sampai saat ini tak memilikinya. Semua anak lain di kelasnya tak mau mendekatinya karena takut akan di-bully juga. Anak-anak kelas sebelah yang tahu mengenai itu juga sama saja. Malah belakangan ini anak-anak kelas sebelah ada beberapa yang ikut mengejeknya.

Kedua anak tadi tampaknya tak tahu apa-apa tentang Yukino. Apa kedua anak tadi menganggapnya sebagai teman? Tidak, tidak mungkin. Berkenalan saja belum, tidak mungkin mereka menganggap Yukino sebagai teman. Tapi jika sudah berkenalan, apa mereka mau menjadi teman Yukino?

Setitik perasaan senang muncul di hati Yukino. Ia akhirnya bisa memiliki teman… Kemudian ia teringat akan perlakuan yang selama ini dialaminya, dan perasaan senangnya lenyap tak bersisa. Jika mereka akhirnya mengenal Yukino, mereka mungkin akan menjauhinya atau yang paling buruk, juga akan ikut mem-bully-nya…

Beauty Loves The Beast: part 7

​“Ayo!! Maju!!”

“Cepat! Ayo cepat!”

“Kamu bisa! Ayo!!”

Suara para siswa yang menyemangati teman sekelasnya yang sedang berlomba semakin lama semakin ramai. Membuatnya saling tumpang tindih dan menghasilkan suara bising yang memekakan telinga.

Di tengah semua keriuhan itu Akito berjalan cepat, menyelinap di sela-sela para siswa yang berkumpul menonton pertandingan. Wajahnya tampak khawatir, ia menengok kesana-kemari, mencari-cari di antara kerumunan besar siswa. Akito tak menyangka jika jumlah siswa yang ikut festival olahraga akan menjadi sebanyak ini. Mungkin seluruh siswa ada di sini sekarang, meski awalnya hampir sebagian besar siswa tak tertarik ikut ambil bagian. Sepertinya mengadakan polling untuk penentuan hadiah adalah keputusan yang tepat.

“Hei, menurutmu Suzuki-san pergi kemana?” 

“Entahlah. Kalau diingat-ingat setelah hasil polling diumumkan Suzuki-san jadi jarang kelihatan. Tadi juga, dia tidak ada.”

Akito menangkap pembicaraan beberapa siswa saat ia berjalan menuju gedung aula. Seharusnya Yukino ada di acara pembukaan pagi ini, tapi ia tidak muncul dan perannya dilakukan oleh wakil ketua OSIS. Para siswa menjadi sedikit gaduh saat itu, tapi untungnya acara pembukaan bisa berjalan tanpa ada kejadian apapun.

Akito mencemaskan keadaan Yukino. Ia sudah mencari gadis itu kemana-mana, tapi ia tak bisa menemukannya di manapun. Di ruang OSIS, di kelas, di ruang kesehatan, di lapangan, bahkan ia juga mencari di toilet, tapi Yukino tidak ada. Mungkin ia benar-benar tidak ada di sekolah hari ini. Tapi kenapa? Yukino sangat menantikan festival olah raga ini. Ia sudah berusaha keras mempersiapkannya, tak mungkin ia akan melewatkannya begitu saja.

Sesampainya di gedung aula, pertandingan basket babak penyisihan pertama sedang berlangsung antara kelas 1-1 dari Grup Merah melawan kelas 1-3 dari Grup Putih. Arena khusus yang awalnya disimpan di gedung aula, kini sudah dipindahkan. Sebagian besar siswa yang ada di lantai 1 adalah siswa kelas 1. Akito melihat ada beberapa orang yang menonton dari lantai 2. Saat hendak menaiki tangga, Akito mendengar seseorang memanggilnya.

“Matsuyama! Akhirnya ketemu!” Rupanya salah seorang teman sekelasnya. “Ayo, kau harus segera kembali ke lapangan! Pertandingan lari 100 m sebentar lagi mulai!” Belum sempat mengatakan apapun, Akito sudah diseret oleh temannya kembali ke lapangan. 

Akito sama sekali tak memiliki semangat untuk mengikuti pertandingan saat ini. Ia ingin mengundurkan diri sebagai wakil kelas dengan alasan tak enak badan. Tapi, sesampainya di lapangan, Akito mendapati teman-teman sekelasnya sedang kebingungan.

“Hei! Bagaimana? Kau menemukan Ichiya?”

“Tidak, aku tak bisa menemukannya!”

“Dasar! Pergi kemana dia?!”

‘Kazuki tidak ada?’ Akito bertanya-tanya dalam hati. Padahal tadi pagi Akito melihat Kazuki berbaris tak jauh di depannya. Apa ia juga membolos dari pertandingan? Jangan-jangan… ia sedang bersama Yukino saat ini?

Akito tertegun. Pikiran mengenai mereka yang mungkin sedang bersama-sama saat ini, membuat perasaan Akito bercampur aduk. Di sana ada rasa senang, karena jika benar Kazuki bersama Yukino, ia mungkin bisa menghibur gadis itu. Di sana juga ada rasa sedih yang menyesakkan, ketika ia teringat bahwa ialah alasan gadis itu bersedih. Di sana juga ada rasa kesal, karena bukan dirinya yang saat ini bersama Yukino. Tapi lebih dari apapun, ia merasa marah. Marah pada dirinya sendiri yang sudah begitu bodoh. 

“Matsuyama, pergilah ke garis start!” Salah seorang temannya memberitahunya untuk bersiap. Akito berjalan menuju garis start tanpa benar-benar memperhatikannya.

Ia baru saja menyadari sesuatu yang penting. Sesuatu yang seharusnya sudah ia sadari sejak lama. Perasaan yang ia miliki terhadap Yukino adalah nyata. Karena itu, wajar baginya untuk merasa cemburu. 

Saat kau benar-benar menyukai seseorang, wajar jika kau ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersamanya. Karena itu, Akito cemburu pada para anggota OSIS yang menghabiskan lebih banyak waktu bersama Yukino. Hal yang wajar pula jika kau ingin tahu lebih banyak tentang orang itu, ingin lebih mengenalnya, ingin lebih akrab dengannya, ingin melindunginya dan membuatnya selalu tersenyum bahagia. Karena itu, Akito cemburu pada Kazuki yang sudah berteman akrab dengan Yukino sejak SMP dan mengenalnya lebih baik dibanding Akito. 

“Semua peserta bersiap di garis start!” Pemberi aba-aba mulai memberikan aba-abanya. “Bersiap…!” Tubuh Akito bergerak mengambil posisi membungkuk sesuai aba-aba, meski pikirannya tak sepenuhnya ada disana. Mengapa ia tak bisa seperti orang-orang itu? Jika saja ia bisa menghabiskan lebih banyak waktu bersama Yukino dan lebih mengenalnya, ia mungkin bisa lebih mengerti perasaan Yukino dan tak akan membuatnya terluka. 

Priiit!

Peluit tanda pertandingan dimulai sudah ditiup. Dan dunia terasa melambat saat Akito kembali menyadari sesuatu. Yukino memilihnya. Ia memilih Akito. Terlepas dari alasan apapun yang membuat Yukino memilihnya, Akito sangat senang karena Yukino telah memilihnya. “Aku merasa sangat bahagia saat bersamamu. Aku ingin terus bersamamu seperti ini.” Akito teringat kata-kata Yukino saat ia menyatakan perasaannya. “Iya, aku juga. Aku juga ingin terus bersamamu,” Akito membisikkan kata-kata yang waktu itu ia ucapkan pada Yukino, di antara napasnya yang terengah-engah sementara ia berlari.

Senyum Yukino saat itu dan juga air matanya waktu itu, Akito ingin percaya bahwa itu adalah bukti jika Yukino benar-benar menyukainya. Tapi, itu belum cukup. Ia harus mendengarnya sekali lagi. Harus.

“Waaa!!!” Suara riuh yang tiba-tiba terdengar, membawa Akito kembali ke dunia nyata. 

“Hebat Matsuyama!” kata salah seorang teman sekelasnya sembari menghampirinya. 

‘Eh?’ Awalnya Akito tampak kebingungan, tapi kemudian ia sadar ia finish di tempat pertama. 

“Kerja bagus Matsuyama! Tidak salah kami menunjukmu,” puji ketua kelasnya sambil menepuk pundak Akito, saat ia kembali ke tempat berkumpul teman-teman sekelasnya.

“Larimu memang cepat ya!” puji temannya yang lain. 

Akito tertegun selama beberapa saat. Jadi, ia bukannya ditunjuk sembarangan oleh teman-temannya, tapi karena kemampuannya? “Ehh… kalian… menunjukku karena itu?” tanya Akito. 

“Tentu saja. Memangnya karena apa lagi?” ujar salah seorang temannya, sementara beberapa yang lainnya memasang wajah bertanya-tanya. 

Akito ragu-ragu untuk menjawab, “Kukira kalian malas ikut festival, makanya…” 

“Yah, itu juga sih sebenarnya,” celetuk salah seorang temannya,  yang diikuti tawa hambar teman-teman yang lain. 

“Tapi OSIS sudah berusaha membuat acara ini, selain itu kita juga sudah latihan, kan? Jadi…” Akito tercengang, ternyata semuanya ingin ikut festival olah raga.

“Bukannya kebanyakan main daripada latihan?” celetuk yang lainnya, dan semuanya tertawa. 

“Tapi yang seperti ini memang menyenangkan, ya!”

Akito merasa ringan karena ternyata teman-temannya percaya padanya. Selain itu semuanya terlihat menikmati festival, Akito sangat senang karena usaha Yukino benar-benar sudah berhasil. Dan ini membuat keinginan Akito semakin kuat untuk segera bertemu Yukino.

“Aku sih mau simpan tenaga untuk lomba khusus.” Tiba-tiba para anak laki-laki membicarakan lomba khusus. Akito ingat tentang lomba itu. Lomba yang pemenangnya akan pacaran dengan Yukino selama sehari.

“Hee? Kau mau ikut lomba itu juga?” 

“Kau juga?” 

“Tentu saja! Siapa yang tidak mau pacaran dengan Suzuki-san?” 

“Oh! Kau tulis itu di polling ya?” 

“Aku juga! Walau cuma sehari aku mau pacaran sama Suzuki-san!” 

“Benar, siapa tahu dalam waktu sehari itu Suzuki-san jatuh cinta padaku!” 

“Gak mungkin! Aku yang akan dapat kesempatan itu, aku pasti juara!” 

“Gak, aku! Aku yang akan menang!”

“Bukan! Pasti aku!” Seketika suasana menjadi panas. Ternyata hampir semua anak laki-laki ikut lomba khusus. Kalau begini, bagaimana jadinya lomba khusus nanti?

“Matsuyama-kun, kau juga ikut lomba khusus?” salah seorang anak perempuan bertanya pada Akito. Ia tak langsung menjawab, teringat betapa populernya Yukino. Benar-benar sangat berbeda dengannya. Tapi gadis populer itu berkata ia menyukai Akito, dan Akito sendiri sudah sadar jika selama ini ia terlalu meremehkan dirinya sendiri. Dan sekarang ia ingin lebih percaya pada dirinya sendiri. 

“Iya. Aku juga ikut,” jawab Akito dengan suara yang tenang namun mantap. Beberapa anak perempuan yang ada disana masih tertegun mendengarnya saat Akito berjalan pergi. “Eh…? Yang tadi Matsuyama-kun?”

[***]

“Kazuki!”

Kazuki baru berbalik ketika ia mendengar suara Akito memanggil. Sebenarnya dari jauh ia sudah melihat Akito datang menghampirinya. Tapi saat ini mereka sedang ‘bertengkar’, atau begitulah seharusnya. Kazuki sebenarnya sudah tidak marah lagi pada Akito. Hanya saja ia sedih karena temannya itu tak menghargai dirinya sendiri.

“Kau kemana saja?” tanya Akito setelah beberapa saat keduanya hanya saling diam. “Aku tidak enak badan, jadi aku istirahat di ruang kesehatan,” jawab Kazuki tanpa melihat Akito.

“Jangan bohong. Aku sempat ke sana dan kau tidak ada,” timpal Akito dengan nada biasa, dan Kazuki hanya menjawab dengan mengangkat bahu sambil tersenyum kecil. 

“Kau tahu, gara-gara kau menghilang, aku disuruh ikut lomba menggantikanmu,” lanjut Akito dengan nada kesal yang dibuat-buat. 

“Begitukah? Maaf soal itu,” kata Kazuki dengan nada menyesal yang juga dibuat-buat. Kazuki hanya berdiri diam disana, sementara Akito memandangnya dengan mata menyipit.

Tak lama kemudian, Akito menghela napas sambil mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. “Ini,” katanya sembari menyodorkan sebuah amplop pada Kazuki. Kazuki tak mengambil amplop itu, juga tak berkata apa-apa. Ia hanya memandang Akito dan amplop itu bergantian. “Kau sedang berhutang, kan? Ini kupon makan siang gratis di kantin selama seminggu. Setidaknya bisa membantumu berhemat bulan depan.” 

Tepat setelah Akito menyelesaikan ucapannya, Kazuki menyambar amplop itu dari tangan Akito. “Terima kasih, Akito-sama!” ujarnya dengan nada riang. Kazuki melihat Akito melongo, dan tertawa terkekeh. “Aku tahu kau akan memenangkannya untukku. Tapi lebih bagus lagi kalau kau bisa menangkan hadiah uangnya juga,” katanya. 

“Kau itu ya…” geram Akito kesal, sementara Kazuki tertawa. Akito hanya bisa menghela napas, tak tahu harus bagaimana lagi menghadapi temannya yang satu ini. 

“Kazuki, besok aku akan ikut lomba khusus.”

[***]

Note: It’s really reallly been a loongg time, isn’t it? I am very sorry for anyone who has been read and follow this story. I am such a slow writer. Since I’ve got more free time lately I will try to post at least one chapter every 2 weeks, or a month maybe.

Beauty Loves The Beast: part 6

Langit sudah gelap. Berkas orange cahaya matahari sudah menghilang di cakrawala. Entah sudah jam berapa sekarang, saat Akito Matsuyama berjalan pulang sendirian di jalan yang lengang.

Akito baru sadar bahwa belum ada seorang pun yang pulang, setelah sampai di depan pintu rumah dan mendapati pintu itu masih terkunci. Akito berusaha menemukan kunci pintu miliknya di dalam tas. Tapi kunci itu tak juga ditemukannya. Akito yang kesal lalu menumpahkan seluruh isi tasnya ke lantai. Kunci itu akhirnya terjatuh berdenting.

Akito berjongkok hendak memungut kunci, juga isi tasnya. Hari ini terasa jauh lebih melelahkan dan menyesakkan. Sebelumnya semua juga tak ada yang berjalan baik baginya, tapi hari ini skenario terburuk benar-benar terjadi.

Dengan tenaga yang berlebihan, Akito menjejalkan semua isi tasnya kembali, membuka kunci, dan membanting pintu tertutup kembali. Ia berjalan cepat menaiki tangga ke kamarnya di lantai dua, lalu langsung menjatuhkan dirinya di tempat tidur. Ia lelah, ia ingin langsung terlelap tidur. Tapi keheningan di sekelilingnya juga bibirnya yang masih terasa perih, justru membuat bayangan wajah Yukino yang menangis kembali menghantui pikirannya.

‘Sial!Akito berkali-kali mengutuk dirinya. Sayang, itu tidak akan bisa memperbaiki apapun.

[***]

“Hiks…”

Ada yang menangis…? Siapa?

“Hiks… Hiks…”

Oh, kamu ya… Hei, gadis kecil, ada apa? Kenapa menangis?

“Hiks… Hiks… Uuuh…”

Sudah, sudah. Berhentilah menangis. Tidak apa-apa. Kamu sudah tidak apa-apa.

“Ta-tapi… Hiks… Kamu…”

Aku? Aku baik-baik saja kok… Eh..? Apa ini? Ada sesuatu di kepalaku…

[***]

“…kito! Akito bangun!”

Akito terkejut dan matanya langsung terbuka lebar. Masih bingung dengan apa yang terjadi, ia mendapati ibunya membungkuk di depannya dengan wajah khawatir.

“Kamu baik-baik saja?” tanya ibunya.

Butuh semenit penuh bagi Akito untuk bisa menjawab, “Ah… Ya,” meski ia tak mengerti mengapa ibunya bertanya demikian.

“Kamu mengigau sampai menangis,” kata ibunya seolah membaca pikiran Akito.

Tangan Akito otomatis terangkat ke wajahnya dan ia merasakan pipinya basah oleh air mata. Selain itu ia juga berkeringat banyak sekali. Akito tak ingat mimpi buruk apa yang dialaminya, tapi ia yakin mimpi itu pasti tentang kejadian hari ini.

“Akito, apa terjadi sesuatu di sekolah?” tanya ibunya khawatir. Ia menyadari ada luka di bibir Akito.

“Eh? Ah, tidak, tidak ada apa-apa. Semua baik-baik saja,” Akito cepat-cepat menghapus air mata yang tersisa. Ia tidak ingin dan tidak tahu cara yang tepat untuk menjelaskan hal ini pada ibunya. Jadi ia berbohong sambil sebisa mungkin memasang senyum seperti biasa.

Usaha Akito sia-sia. Kening ibunya malah berkerut dan tatapannya berubah tajam. “Jadi memang terjadi sesuatu. Katakan pada ibu apa yang terjadi.”

Akito terdiam, bingung harus berkata apa. Ibunya menjadi overprotective sejak Akito mengalami kecelakaan beberapa tahun lalu. Akito sendiri tak begitu ingat apa terjadi yang waktu itu. Ibunya hanya berkata jika Akito hampir tertabrak mobil dalam perjalanan pulang selepas sekolah.

Akito mengerti mengapa ibunya menjadi seperti itu mengingat ia adalah anak tunggal. Tapi sekarang sudah tidak lagi. Sejak ibunya menikah lagi, ia mendapatkan dua saudara tiri yang usianya tak jauh berbeda dengannya, dan sekarang, sebentar lagi ia akan mendapatkan seorang adik baru. Selain itu, Akito sudah duduk di bangku SMA. Ia yakin ia bisa menjaga dirinya sendiri.

“Tidak ada apa-apa, bu. Sungguh,” Akito berusaha meyakinkan ibunya.

“Bibirmu terluka. Apa itu gara-gara kamu berkelahi?” tanya ibunya, masih mengerutkan kening. Ia menyentuh bibir Akito yang terluka, dan kerutan di keningnya semakin dalam saat ia melihat Akito meringis.

“Luka ini bukan apa-apa, dan aku terluka bukan karena itu,” sahut Akito cepat-cepat mengelak. Jika ibunya tahu alasan sebenarnya, entah apa yang akan terjadi. “Aku tadi ikut membantu persiapan festival olah raga, dan kurang hati-hati, jadi…”

Setelah beberapa menit dalam keheningan, ibunya menghela napas. “Ya, sudah kalau begitu. Lain kali kamu harus lebih hati-hati,” katanya akhirnya. “Ganti pakaianmu dan mandilah. Makan malam akan siap sebentar lagi,” lanjut ibunya seraya beranjak ke pintu kamar. “Baik,” sahut Akito.

Ketika membuka pintu kamar, ibunya mendadak berhenti. “Akito, ibu tahu kamu merasa kalau ibu terlalu ikut campur, tapi ibu hanya tidak ingin kamu mengalami kejadian buruk lagi,” gumamnya tanpa menoleh. Namun Akito tahu ibunya sungguh-sungguh mengkhawatirkannya, membuatnya merasa bersalah karena sudah berbohong.

Meski begitu, Akito juga tak ingin membebani ibunya dengan masalah yang dialaminya. “Ibu, aku sama sekali tidak merasa begitu. Aku senang ibu memperhatikanku,” Akito terdiam sejenak, “Tapi, aku sudah tidak apa-apa. Ibu tidak perlu khawatir.”

Ibunya menoleh, memandang wajah putranya dengan tatapan sedih. “Maaf,” bisik ibunya lirih.

“Ibu, kenapa ibu minta maaf?” Akito selalu merasa ada rasa bersalah yang tersirat setiap kali ibunya memandangnya. Akito tidak tahu mengapa ibunya seperti itu dan itu membuatnya sedih. Ia ingin bertanya, tapi ibunya sepertinya tidak ingin membicarakannya dan selalu menghindari topik itu. “Nah, cepatlah mandi,” katanya lalu menutup pintu kamar.

[***]

Pukul 4 pagi, dan Akito sudah sepenuhnya terjaga. Sudah beberapa hari ini Akito tak bisa tidur nyenyak. Beberapa kali ia terbangun karena mimpi buruk, tapi ia tak ingat mimpi seperti apa itu.

Setelah kejadian waktu itu, Akito tetap pergi ke sekolah karena tak ingin membuat ibunya khawatir. Meski begitu, ia tak tahu harus bersikap bagaimana mengingat ia sekelas dengan Yukino maupun Kazuki. Ia tak tahu harus berwajah bagaimana ketika bertemu mereka. Tapi, entah ini hal yang baik atau justru hal yang buruk, karena sampai kemarin Akito sama sekali tak bertemu dengan mereka. Saat jam pelajaran juga jam istirahat, Yukino maupun Kazuki tidak pernah datang ke kelas.

Wajar jika Yukino absen, ia mungkin sangat sibuk dengan persiapan festival olah raga sampai ia tak sempat menghadiri kelas. Tapi Kazuki? Apa mungkin ia membolos karena menghindari Akito? Tidak, tidak mungkin. Jika ada seseorang yang ingin menghindari seseorang saat ini, maka Akito-lah orangnya.

Waktu terus berlalu seperti itu beberapa hari ini. Membuat perasaan Akito semakin berat dan semakin sesak. Semakin lama ia semakin takut untuk datang ke sekolah. Takut jika ia harus bertemu dengan salah satu dari mereka. Takut karena ia sudah membuat Kazuki marah dengan sikapnya yang pengecut. Takut karena ia sudah membuat Yukino terluka dengan kata-katanya yang rendah.

Wajah Yukino saat itu kembali menghantui pikiran Akito. Hatinya terasa perih setiap kali ia mengingatnya. Tidak, tidak boleh seperti ini terus, pikir Akito. Ia tak ingin melihat Yukino menangis. Ia ingin agar Yukino selalu tersenyum.

Akito menghela napas panjang. Hari ini adalah hari pertama festival olah raga. Yukino pasti hadir di acara pembukaan nanti sebagai ketua OSIS. Karena itu, hari ini Akito akan menemui Yukino. Benar, inilah yang terbaik, Akito sudah memutuskan. Aku akan minta maaf dan mengakhiri semuanya.

Beauty Loves The Beast: part 5

“Suzuki-chan!! Tunggu!!” Terdengar suara yang memanggil dibelakangnya. Yukino tidak tahu ia sudah berlari sejauh apa dan kemana. Pikirannya kacau dan hatinya terasa amat sakit. Ia tak ingin percaya pada apa yang baru saja didengarnya. Meski begitu suara Akito saat itu terus terngiang-ngiang di telinganya. Kenapa? Kenapa Akito bisa berkata seperti itu?

Tiba-tiba seseorang menarik tangan Yukino, memaksanya berhenti berlari. Yukino tidak berbalik untuk melihat siapa orang itu, karena ia tahu orang itu pasti bukan Akito.

“Suzuki-chan…” Suara Kazuki terdengar lagi. “Aku yakin Akito tidak bermaksud begitu. Pasti sudah terjadi sesuatu, karena itu ia jadi bersikap begitu,” Kazuki seolah berusaha menjelaskan sikap Akito, meski ia juga tidak tahu pasti apa yang sebenarnya terjadi padanya.

“Maaf, Ichiya-kun… Tolong biarkan aku sendiri,” kata Yukino tanpa menoleh. Ia mencoba untuk terdengar tetap tenang, tapi gagal. Suaranya terdengar sangat parah karena menahan tangis, dan itu membuat hati Kazuki sangat sedih. Ia ingin sekali menarik gadis itu ke dalam pelukannya dan menenangkannya. Tapi tidak bisa.

Dengan berat hati, ia melepaskan genggamannya dari tangan Yukino. Ia mengira Yukino akan segera pergi begitu ia melakukannya. Tapi Yukino berbalik. Dengan wajah berlinang air mata ia mencoba tersenyum dan berkata “Terima kasih.”

Tangan Kazuki bergerak tanpa sadar, mencoba menangkap kembali tangan Yukino yang dilepaskannya tadi. Namun tangan itu hanya mampu menyentuh ujung rambut Yukino. Yukino pun segera menghilang dari pandangan Kazuki.

Kazuki memaki. Ia sudah menduga pasti terjadi sesuatu saat Gorou-senpai membawa Akito pergi waktu itu. Seharusnya ia menghentikan atau paling tidak mengikuti kemana mereka pergi. Sehingga ia bisa menolong Akito seandainya terjadi sesuatu. Waktu itu ia bingung apakah ia harus melakukannya, dan akhirnya ketika Akito kembali dalam keadaan utuh ia merasa sangat lega. Apapun itu, yang penting semua sudah selesai dan Akito tidak apa-apa, begitu pikirnya waktu itu. Dan sekarang ia tahu ia benar-benar salah.

Kazuki baru akan berbalik ketika ia melihat secarik kertas tergeletak di lantai tempat Yukino tadi berdiri. Di kertas itu tertulis “Hadiah Hasil Polling Siswa”. Kazuki mengambil kertas itu dan terkejut ketika membaca isinya. “Aku harus beri tahu Akito.”

[***]

Yukino… Dia menangis… Dia terluka… Aku… Apa yang sudah kulakukan? Aku membuatnya menangis… Aku membuatnya terluka… Aku…

Kazuki menghela napas lega mendapati Akito masih berada di koridor saat ia kembali. “Akito, lihat ini,” kata Kazuki sambil menyodorkan kertas bertuliskan “Hadiah Hasil Polling Siswa” ke arah Akito. Namun ia hanya terdiam.

“Akito?” panggil Kazuki. Wajah Akito tanpa ekspresi. Matanya hanya menatap kosong kertas yang disodorkan Kazuki.

“Akito,” panggil Kazuki lagi. Akito tetap tak menjawab. Ekspresinya tak berubah. Ia terlihat seperti patung tak bernyawa.

“Akito!” Kazuki mulai mengguncang-guncang bahu Akito. Tapi tetap tak ada perubahan.

Kazuki menghela napas. Ia memandang Akito beberapa saat. Bingung apa yang sebaiknya dilakukan. Akito sekarang tampaknya akan tetap begini walau apapun yang terjadi.

“Baiklah. Kurasa kau sudah tak bisa diharapkan lagi,” Kazuki memutuskan untuk memancing Akito. “Kurasa sekarang yang bisa menyelamatkan Suzuki-chan cuma aku.”

Ia terdiam sejenak, menunggu reaksi Akito. Tapi Akito bergeming dan Kazuki mulai kesal. “Akito! Kuatkan dirimu! Ini bukan saatnya untuk menyesali apa yang sudah terlanjur terjadi! Kau masih bisa memperbaikinya!” kata Kazuki sambil mencengkeram pundak Akito. Akito terlihat terguncang mendengar Kazuki setengah berteriak padanya, ia juga masih terlihat linglung.

“Sekarang ada hal yang lebih penting! Lihat!” Kazuki memperlihatkan lagi kertas daftar nama hadiah pada Akito. Akito akhirnya mau meraih kertas itu dan membacanya. Matanya langsung terpaku pada apa yang tertulis sebagai hadiah utama.

Pacaran sehari dengan Suzuki-san

“Akito, kau harus ikut lomba khusus dan menang. Jika tidak Suzuki-chan…”

“Aku tidak bisa…” Lagi-lagi Akito memotong ucapan Kazuki. Suaranya serak dan bergetar, “Aku sudah menyakitinya. Dia pasti tidak akan mau bertemu denganku lagi. Lagipula aku tidak akan bisa menang walau berusaha sekeras apapun. Aku ini hanya pecundang. Aku tak seharusnya bermimpi untuk bisa bersamanya. Pemenangnya nanti pasti lebih baik dar…”

Kali ini Kazuki yang memotong kata-kata Akito, dengan sebuah pukulan telak di wajah. Akito jatuh terlentang ke lantai dan kacamatanya terpental entah kemana. Tapi ia tak berusaha bangkit, ia bahkan tak meringis kesakitan ketika darah mengalir dari bibirnya.

“Kau serius?” Akito tak bisa melihat ekspresi wajah Kazuki. Tapi ia tahu Kazuki sangat marah. “KAU SERIUS BERPIKIR BEGITU?!” Kazuki berteriak marah. Suaranya yang keras bergema di sepanjang lorong yang sepi.

Akito tetap tak bergerak.

“Kalau memang begitu, artinya kau memang tidak pantas untuknya! Kau sama sekali tak mengerti bagaimana perasaan Yukino!!”

Akito terkejut mendengar Kazuki menyebut Yukino hanya dengan “nama kecil”nya. Tapi ia tak berhak lagi untuk menegur apalagi melarang Kazuki. Ia dan Yukino sudah berakhir. Ia sudah tak bisa berbuat apapun jika Kazuki…

“Akan kurebut dia darimu. Aku tak akan membiarkan Yukino menangis lagi.”

Akito tak berkata apa-apa. Ia sebenarnya tahu jika Kazuki juga menyukai Yukino. Dan mereka adalah pasangan yang sangat serasi. Ia tak mau mengakuinya tapi selama ini Akito cemburu dan iri pada Kazuki. Kazuki yang tampan, ceria, humoris, yang bisa membuat siapa saja ingin berteman dengannya. Ia adalah kebalikan 180o dari Kazuki. Pemuda kutu buku yang pendiam dan culun, itulah dirinya.

“Akito, kau sudah berubah…” bisik Kazuki sebelum ia melangkah pergi.

Akito perlahan bangun dan duduk. Ia memandang kosong bayangan kabur punggung Kazuki yang menjauh. Aku… berubah?

Beauty Loves The Beast: part 4

Akito melangkah lunglai menyusuri koridor. Hari ini adalah hari yang panjang baginya. Setelah diinterogasi oleh Gorou-senpai, ia kembali ke kelas dan langsung ditunjuk mewakili kelas di festival olah raga. Bukan hanya dalam satu pertandingan saja, tapi tiga pertandingan. Pertandingan basket, lari 100 m, dan lari estafet.

Akito menghela napas. Semua teman sekelasnya memang keterlaluan. Hanya karena Akito tidak ikut dalam rapat penentuan wakil kelas, ia ditunjuk seenaknya. Lagipula bukan salahnya ia tidak ikut.  Itu karena Gorou-senpai memboyongnya ke halaman belakang sekolah.

Akito mengernyitkan keningnya. Ia jadi teringat kejadian itu. Saat itu ia tidak bisa menjawab pertanyaan Gorou-senpai… ‘apa hubunganmu dengan Suzuki?’ Sebenarnya ia ingin sekali menjawab bahwa mereka adalah sepasang kekasih, tapi tidak bisa. Alasan pertama, karena ia tidak punya cukup keberanian. Kalau ia menjawab begitu, bisa dijamin ia tidak akan masuk sekolah besok. Memangnya siapa yang bisa menang melawan segerombolan anggota klub judo bertubuh besar? Dan alasan kedua, karena Yukino meminta agar hubungan mereka dirahasiakan…

Tanpa sadar, langkah Akito semakin cepat. Ia menggeleng perlahan untuk mengenyah pikiran yang perlahan-perlahan memenuhi kepalanya. Selama ini ia selalu menghindar dari pikiran itu. Ia tidak mau memikirkannya… Ia takut memikirkannya…

Tidak terasa ia sudah sampai di depan ruang OSIS. Hari ini OSIS sangat sibuk, jadi ia dan Yukino tidak berjanji untuk bertemu sepulang sekolah. Tapi Akito memutuskan untuk mampir sebentar hanya untuk melihat keadaannya. Akito sadar ada beberapa orang di ruang OSIS saat ia mendengar suara pembicaraan dari dalam. Ia hendak pergi ketika ia mendengar namanya disebut. Otomatis Akito merapat di depan pintu untuk mendengar lebih jelas.

“Kau serius? Bukannya itu hanya gosip?”

“Kalau hanya gosip kenapa Gorou-san repot-repot menemuinya?”

“Yang benar saja. Aku tidak bisa membayangkan orang itu bersama Suzuki-sama.”

“Benar! Mereka sama sekali tidak serasi! Aku tidak akan mengakuinya!”

Akito merasa terhenyak mendengar kata-kata itu. Kata-kata penolakan. Ia seharusnya sudah terbiasa dengan hal-hal seperti ini. Ia selalu bisa memaklumi bahwa dirinya tidaklah sebanding dengan Yukino. Karena itu saat Yukino berkata jika ia menyukainya, ia takut untuk menerima perasaannya. Takut jika Yukino digunjingkan karena berhubungan dengan pemuda sepertinya.  Tapi Yukino tetap mendekat padanya. Selain itu ia memang harus mengakui bahwa ia sangat menyukai Yukino dan ingin lebih dekat dengannya.

Tapi akhir-akhir ini Akito memang aneh. Saat seseorang sedang menyatakan cinta pada Yukino, saat anggota OSIS berdiskusi dengan Yukino, saat teman-teman sekelas berbicara dengan Yukino, bahkan saat Kazuki bertegur sapa dengan Yukino, ia selalu merasa terganggu. Padahal sebelumnya ia baik-baik saja.

“Memang tak masuk akal kalau anak culun berkacamata tebal itu bisa mengambil hati ketua. Aku yakin pasti ada sesuatu.” Suara para anggota OSIS kembali terdengar.

“Kupikir juga begitu. Suzuki-sama pasti hanya memanfaatkannya.”

“Benar juga! Dia’kan peringkat 1 diantara murid-murid kelas 2? Pasti ketua memanfaatkannya untuk menbantu tugas-tugas OSIS….”

Akito tidak bisa lagi mendengar apa kelanjutan pembicaraan itu. Karena saat itu ia sudah berjalan, hampir berlari, menyusuri koridor. Pikiran yang tadi berhasil dibuangnya jauh-jauh, kini kembali menghantuinya. Padahal ia tidak mau memikirkannya. Padahal ia tidak mau berprasangka seperti itu terhadap Yukino. Tapi ia tidak bisa menghentikannya kali ini.

Jauh sebelumnya, pikiran itu pernah melintas di kepalanya. Pikiran bahwa Yukino mendekatinya hanya untuk memanfaatkannya. Namun ia selalu menyangkalnya. Ia selalu berkata pada dirinya bahwa Yukino tidak mungkin berbuat seperti itu. Bahwa ia bukan orang yang hanya senang memanfaatkan orang lain. Lagipula, biarpun benar Yukino hanya memanfaatkannya, ia tak akan keberatan… Ia tahu posisinya, karena itu ia tak akan meminta banyak… Sudah cukup baginya jika bisa membantu Yukino…

‘Benarkah?’

[***]

Festival olah raga semakin dekat. Persiapan sudah hampir selesai. Tapi makin hari Yukino justru makin sibuk. Entah sudah berapa kali ia mondar-mandir dari ruang OSIS ke gedung olah raga, ke lapangan, lalu kembali ke ruang OSIS. Selain itu ia juga harus mengawasi persiapan di aula, tempat arena khusus sedang disiapkan.

Ya, festival olah raga di sekolah mereka memang sedikit berbeda dari sekolah lainnya. Setiap tahunnya selalu ada lomba unik yang diadakan, yang persiapannya hanya dilakukan oleh anggota OSIS saja. Jenis lombanya dirahasiakan sampai saat perlombaan dimulai dan menjadi sebuah kejutan tersendiri yang ditunggu-tunggu para siswa. Selain itu, ada tradisi bahwa kelas yang berhasil memenangkan lomba itu dianggap sebagai kelas terbaik tahun itu. Karena itu setiap tahun para siswa selalu bersemangat mengikuti festival. Tapi tahun ini sepertinya semangat itu tidak ada.

“Bagaimana perhitungannya?” tanya Yukino begitu ia memasuki ruang OSIS. Disana terlihat beberapa anggota OSIS yang sedang sibuk melakukan perhitungan suara untuk menentukan hadiah yang akan diberikan dalam setiap pertandingan. Tahun ini sekolah mencoba memberikan hadiah sesuai dengan hasil polling agar para siswa lebih bersemangat mengikuti festival.

“Tinggal sedikit lagi,” jawab salah seorang anggota OSIS.

Yukino menghela napas. “Ada yang mau kubantu?”

Sebenarnya hari ini ia merasa tidak bersemangat. Beberapa hari yang lalu ia berpapasan dengan Akito sepulang sekolah. Yukino merasa senang karena mereka sudah lama tidak mengobrol. Tapi Akito tidak terlihat seperti biasanya. Ia terlihat sedih, bingung, sekaligus marah. Lalu entah mengapa Yukino jadi tidak bisa menyapanya waktu itu.

Ia tak pernah melihat Akito seperti itu sebelumnya, dan itu membuat hatinya sangat tidak tenang. Yukino mencoba untuk bicara dengan Akito selama beberapa hari setelah kejadian itu, namun tampaknya Akito menghindarinya. Ia jadi semakin tidak tenang. Kenapa Akito menghindarinya? Apa yang sudah ia lakukan? Apa ia telah melakukan sesuatu yang tanpa sadar sudah menyakiti Akito?

Ia terlihat tetap berkonsentrasi pada tugasnya sebagai Ketua OSIS, tapi sebenarnya Yukino ingin sekali mencari Akito sekarang juga dan memastikan apa yang terjadi.  Lagi-lagi Yukino menghela napas. Kalau begini terus ia tidak akan bisa menyelesaikan apa-apa. Ia harus bertemu dengan Akito hari ini.

Yukino sudah membulatkan tekadnya dan mencoba untuk berkonsentrasi kembali, ketika matanya menangkap sebaris kata yang membuat pikirannya buyar. Hampir secepat kilat, Yukino menyambar kertas tempat sebaris kata itu tertulis dari meja dan mengamatinya dengan seksama. Tidak salah lagi, yang tertulis disana adalah daftar nama hadiah yang akan diberikan bagi pemenang pertandingan di festival olah raga. Rencananya, hadiah yang paling banyak diinginkan siswa akan dijadikan sebagai grand prize, yang akan diperebutkan dalam lomba khusus yang disiapkan OSIS. Dan hadiah itu adalah…

[***]

“Akito!”

Akito melonjak kaget saat tiba-tiba bahunya ditepuk keras dari belakang. Dengan cepat ia berputar dan mendapati Kazuki yang sedang menatapnya dengan heran.

“Kazuki, jangan mengagetkan orang begitu,” gerutu Akito sambil memegangi dadanya.

“Siapa yang mengagetkan? Aku sudah memanggilmu berkali-kali sejak tadi, tapi kau tidak mendengarku,” Kazuki ikut menggerutu.

“Benarkah? Maaf…” kata Akito sambil mengalihkan kembali pandangannya keluar jendela. Hari sudah sore, dan koridor tempat mereka berada juga sudah sepi.

“Kau tidak mau pulang?” tanya Kazuki.

“Kau duluan saja. Nanti aku akan pulang,” jawab Akito.

Kazuki menghela napas, ia sudah tidak tahan. “Apa yang terjadi? Akhir-akhir ini kau murung dan sering melamun.” Akito tersenyum tipis mendengar pertanyaan Kazuki. Ia tahu Kazuki pasti akan menyadari perubahan sikapnya walau ia sudah berusaha menutupinya.

“Kau menghindar dari Suzuki-chan, kan?” tanya Kazuki. Akito tidak menjawab. Ia hanya menunduk menatap kakinya. “Kenapa kau menghindarinya?” tanya Kazuki lagi.

Akito tahu tak ada gunanya ia mengelak. “Hei, Kazuki… menurutmu kenapa Yukino-san mendekatiku?”

Kazuki tertegun. “Hah?”

“Kurasa tidak mungkin gadis sepertinya menyukaiku. Itu terlalu tidak mungkin, iya’kan?” lanjut Akito sambil tetap menunduk. Ia tak ingin melihat wajah Kazuki. Jika ia melihatnya, ia akan mulai merasa kesal.

“Tunggu Akito, apa maksudmu?” Kazuki tampak kebingungan melihat sikap temannya. “Apa yang terjadi? Kau bertengkar dengan Suzuki-chan?”

Akito tidak menghiraukan pertanyaan Kazuki. “Dia dan aku sangat berbeda. Kami bagai langit dan bumi. Aku tidak pantas untuknya. Aku tidak mengerti sebenarnya kenapa ia mendekatiku. Padahal masih banyak pemuda lain yang jauh lebih baik dariku. Jika mau ia bahkan bisa memilih satu yang terbaik diantara mereka. Tapi dia malah memilihku, itu aneh’kan?” Kata-kata terus meluncur dari bibirnya seolah tak bisa berhenti.

“Akito!” Kazuki sampai harus mencengkeram bahu Akito untuk menghentikan hujan kata-kata yang dilontarkannya. “Ada apa denganmu? Kenapa kau berkata begitu? Kau seolah-olah berkata kalau Suzuki-chan jadian denganmu karena ada maksud ter…”

Kazuki tidak sempat menyelesaikan kata-katanya, karena Akito tiba-tiba menepis tangannya. “Kalau bukan begitu, lalu kenapa?!” bentak Akito. “Dia pasti hanya berniat memanfaatkanku!!” Suaranya bergetar. Ah… Ia benar-benar pemuda yang memalukan. Karena hal ini, ia hampir menangis di depan Kazuki.

Akito tidak berani mendongak karena air matanya akan benar-benar jatuh jika ia melakukannya. Tapi keheningan yang menyusul, memaksa Akito untuk mendongak menatap Kazuki. Dan ia mendapati Kazuki sedang menatap ke arah lain, melewati bahu Akito, dengan wajah terkesiap.

Cepat-cepat Akito berbalik. Disana berdiri seseorang. Raut wajah orang itu terlihat sangat terluka dan sedih. Sebutir air mata jatuh di pipinya, dan tak lama mulai mengalir deras membanjiri wajahnya.

Akito tidak bisa bergerak, tidak bisa berkata-kata, tidak bisa berbuat apa-apa, ketika Yukino berbalik dan berlari meninggalkannya.

Manga Review: REC – The Day You Cried

“If even one person in the world can understand my true self, that’s would be a miracle.” – Aizawa Minami

“I wish I could meet them. Someone like that… Even one person would be enough.” – Wakabayashi Satoru

1356695734-1319188175_m

REC berkisah tentang seorang gadis bernama Aizawa Minami yang  sejak lahir tidak pernah meneteskan air mata. Baik itu ketika ia terjatuh atau ketika ia kehilangan sesuatu, ia tidak pernah menangis. Karena itulah ia seolah tidak memiliki emosi dan dijauhi oleh teman-teman sekelasnya.

Suatu hari diadakan sebuah pemutaran film berjudul “Forever Loving You” di sekolah Minami. Selain karena menjadi lokasi syuting, pemutaran film itu diadakan di sekolah karena sang tokoh utama pria dalam film tersebut, diperankan oleh aktor yang merupakan teman sekelas Minami, Wakabayashi Satoru. Sebagai seorang aktor, Satoru sangat populer. Ia tampan, baik hati, dan mudah berteman. Sayangnya ia memutuskan untuk pensiun sebagai aktor di film terakhirnya dengan alasan ingin fokus bersekolah.

Saat pemutaran film berakhir semua siswa diwajibkan untuk menuliskan kesan tentang film tersebut. Semua teman-teman Minami menulis jika film tersebut sangat menyentuh dan mengharukan, karena sang tokoh utama pria yang meninggal di akhir cerita. Tapi hanya Minami yang tidak menulis apapun. Ia berkata ia tak tahu harus menulis apa karena ia belum pernah merasakan kematian. Setelah mendengarnya, seorang teman Satoru berkata mengenai rumor bahwa Minami pastilah orang yang merekam sebuah video berjudul “Ironed Cat”, video yang merekam seekor kucing yang mati karena tertabrak mobil.

Rumor itu nantinya terbukti tidak benar dan Minami pun bisa berteman dengan Satoru dan teman-temannya. Minami lalu akhirnya memutuskan untuk merekam kegiatannya bersama Satoru dan teman-temannya walau awalnya ia tidak mau merekam seseorang. Tapi lambat laun Minami menyadari bahwa ada sesuatu yang salah mengenai Satoru. Minami sadar bahwa Satoru tidak pernah benar-benar tersenyum… bahwa senyumnya selama ini hanyalah acting

[***]

Jujur, tidak banyak yang bisa saya katakan tentang manga ini. Hanya satu: so sad yet so beautiful. :’)

Minami, tokoh utama wanita dalam manga ini berbeda dari shoujo manga lainnya. Ia terlihat kuat, berjalan dalam iramanya sendiri dan tidak terpengaruh ucapan orang-orang di sekitarnya. Menurut saya itu sangat keren. Sedangkan Satoru, ia benar-benar luar biasa. :’)

Manga’s Details:

  • Author/Artist : Makino Aoi
  • Genre : drama, romance, slice of life, tragedy
  • Status : completed

Beauty Loves The Beast: part 3

“Sedang baca buku apa?”

Gadis itu melongokkan kepalanya melewati bahu Akito. Sejenak Akito tak menjawab, jantungnya sama sekali tidak bisa tenang. Bagaimana bisa tenang? Gadis sempurna paling populer di sekolah, Yukino Suzuki, saat ini sedang melingkarkan kedua lengannya di pinggang Akito dan memeluknya dari belakang.

Tidak percaya? Memang sulit dipercaya. Akito sering merasa bahwa ini hanya mimpi. Tapi ini bukan mimpi. Ia, Akito Matsuyama, siswa biasa si mata empat yang kutu buku adalah kekasih Yukino Suzuki. Yang lebih sulit dipercaya, Yukino-lah yang pertama kali menyatakan ‘suka’ pada Akito.

Advanced Skywatching,” jawab Akito setelah menelan ludah untuk yang kesekian kalinya.

“Buku astronomi? Akito-kun sangat menyukai luar angkasa, ya,” kata Yukino sambil mengamati buku yang tebal itu.

“Yah, begitulah. Impianku adalah bisa bekerja di NASA,” ujar Akito sambil tersenyum. Yukino tersenyum lembut saat melihat wajah Akito yang antusias. “Akito-kun pasti bisa. Jadi berusahalah!”

Akito merasa wajahnya memanas seketika. Refleks ia memalingkan wajahnya, malu jika sampai terlihat Yukino. Lalu Akito merasa jika Yukino melepaskan pelukannya, dan detik itu juga ia menyesal sudah memalingkan wajah. Yukino pasti merasa tersinggung. Akito menoleh perlahan dan ia mendapati Yukino yang sedang menunduk dengan kedua tangan terpaut.

“Mmm… Maaf ya, aku terlambat. Kau tidak marah, kan?” katanya sambil menatap lantai. Akito terdiam. Apa ini hanya perasaannya? Atau benar Yukino terlihat merasa sangat bersalah karena datang terlambat dari waktu janjian?

Bukannya kesal, sebuah perasaan lain menyeruak dalam diri Akito. Ia benar-benar sangat senang! Melihat sikap Yukino, membuatnya berpikir bahwa gadis itu ternyata sangat peduli padanya. Dan itu membuat wajahnya kembali memanas.

Sebelah tangan Akito otomatis terangkat ke wajahnya. Dengan kikuk, beberapa kali ia membetulkan letak kacamatanya yang memang sudah betul. Ia menarik napas berulang kali untuk meredam rasa senangnya yang tak terkendali, sebelum menjawab, “Ti,tidak. Aku tahu kalau kau sibuk.”

Yukino mengangkat wajahnya, dan Akito menemukan sebuah senyum yang mengisyaratkan rasa bersalah sekaligus rasa terima kasih menghiasi bibirnya.

Mereka berdua kemudian terdiam dalam keheningan yang canggung. Akito berusaha keras menemukan topik untuk dibicarakan dan ia memutuskan untuk bertanya tentang persiapan festival olah raga. Wajah Yukino berubah sedikit cerah ketika Akito bertanya. Lalu ia pun mulai bercerita mengenai rapat yang baru saja selesai ketika mereka sudah duduk di salah satu meja belajar.

Akito bukannya merasa bosan, hanya saja ia sebenarnya tidak ingin bicara mengenai kegiatan osis saat ia bersama Yukino seperti ini. Tapi apa boleh buat, selama setengah tahun bersama, memang hampir tidak ada kemajuan sama sekali dalam hubungan mereka walau sekarang status mereka sudah bukan lagi hanya teman. Kalau seperti ini jadi lebih tepat disebut sebagai ‘sahabat baik’ bukan?

Yukino menghela napas, mengakhiri ceritanya. “Apa yang sebaiknya kulakukan agar semuanya jadi lebih tertarik mengikuti festival?” tanyanya. Akito memang tidak bisa membiarkan jika Yukino kesulitan, karena itu ia selalu berusaha membantu. Tak heran Akito tahu banyak soal urusan osis, walaupun ia bukan anggota osis.

“Bagaimana kalau menyiapkan hadiah?” saran Akito.

“Aku juga sempat terpikir ide itu. Tapi aku bingung, hadiah apa yang menarik,” kata Yukino dengan wajah lesu. “Daftar pertandingan yang akan dilombakan sudah ditentukan. Masing-masing kelas seharusnya sudah menunjuk wakil untuk setiap lomba.”

Mereka terdiam sesaat, lalu Akito membuka suara. “Buat polling saja! Tapi lebih baik buat beberapa pilihan yang bisa dipilih agar nanti lebih mudah mengelompokkannya.”

Bibir Yukino mengembangkan senyum cerah. “Benar! Kenapa tak terpikir?” Ia lalu tertawa ceria. “Akito-kun hebat! Terima kasih! Aku akan mengusulkannya pada para guru.” Akito senang ia bisa membantu, ia senang melihat wajah Yukino yang tersenyum. Setidaknya, Yukino bisa mengandalkannya.

Mereka tak lama berdiam di perpustakaan setelah itu, karena mobil yang menjemput Yukino sudah menunggu. Akito akhirnya berjalan pulang setelah mobil itu menghilang di kelokan jalan. Ia tidak sadar jika ada seseorang yang mengamati mereka sejak mereka keluar dari ruang perpustakaan.

[***]

Tiga hari kemudian, polling pun benar-benar diadakan. Sejumlah uang, kupon makan gratis, tiket nonton gratis bioskop… ‘Pilihan yang disediakan menarik. Yukino-san memang hebat,’ pikir Akito begitu membaca lembaran questioner.

“Akito, ini pasti idemu’kan?” Kazuki yang duduk di belakang, menepuk pundak Akito. Kazuki adalah satu-satunya orang tahu tentang hubungan Akito dan Yukino, dan ia mendukung kedua temannya itu.

“Iya. Kemarin Yukino-san minta saranku agar festival olah raga jadi menarik,” jawab Akito sambil mengisi questioner-nya.

Kazuki mendengus. “Kau itu seharusnya bergabung di OSIS juga. Suzuki-chan pasti senang.” Akito hanya tersenyum kecil mendengar perkataan Kazuki. “Yah, tapi ini benar-benar untung. Terima kasih, Akito! Kau memang teman baikku,” lanjut Kazuki riang.

Nada riang yang tidak biasa itu, membuat Akito penasaran. Ia pun menoleh ke arah Kazuki, dan mendapatinya sedang asyik mengisi tanda check di kotak kecil di samping tulisan deretan angka dengan wajah berseri-seri. “Kau sepertinya senang sekali,” kata Akito.

Kazuki terkekeh. “Itu karena aku tak menyangka akan terselamatkan dengan cara seperti ini.”

“Kau berhutang lagi?” tebak Akito langsung.

Seketika raut wajah Kazuki berubah, matanya berkaca-kaca. “Aku tidak tahu harus bagaimana lagi!!” Kazuki mulai menangis dan bercerita panjang lebar tentang kesialan yang menimpanya. Dan  Akito  menyesal karena sudah merasa penasaran.

Tiba-tiba terdengar ada keributan di luar kelas. Dan sekelompok murid yang berbadan besar masuk ke kelas. “Apa Akito Matsuyama ada?” tanya salah seorang dari mereka. Akito mengenalinya sebagai Gorou-senpai, murid kelas tiga yang juga ketua Club Judo. Ada urusan apa Gorou-senpai mencarinya?

Akito masih sibuk berpikir apa yang sebaiknya dilakukan ketika Gorou-senpai melihat dan menghampirinya. “Kau Akito Matsuyama’kan? Bisa ikut denganku sebentar?” katanya begitu sampai di samping meja Akito. Ia memandang Akito dengan tatapan mengancam meski nada suaranya tenang.

Akito tidak tahu apa yang sedang terjadi, tapi ia tahu jika ia menolak sesuatu yang buruk akan benar-benar terjadi. Semua orang di kelas hanya melihat dalam diam saat Akito digiring keluar oleh Gorou-senpai dan teman-temannya. Bahkan Kazuki juga tidak berbuat apa-apa. Akito maklum karena ia tahu Kazuki sudah terlibat dengan cukup banyak masalah.

Akito terus memutar otak selama ia dibawa ke suatu tempat oleh Gorou-senpai cs. Berusaha mengingat apa yang sudah ia lakukan (walau ia yakin tidak berbuat apa-apa) atau menemukan cara untuk bisa lolos dari situasi ini dengan selamat.

Setelah beberapa saat, Akito sadar mereka sudah sampai di halaman belakang sekolah. Dan tiba-tiba saja ia sudah dikelilingi para senior itu.

“Langsung saja. Apa hubunganmu dengan Suzuki?”

Beauty Loves The Beast: part 2

Gadis itu berbalik menghadap para berandalan yang menerjang ke arahnya dan memasang kuda-kuda. Berandalan pertama mengayunkan tongkatnya. Gadis itu menghindar ke belakang diiringi pekikan ketakutan murid-murid lainnya. Rambut cokelat panjangnya berkibar ke depan menutupi matanya. Tapi itu tidak menghalanginya untuk melayangkan tendangan keras tepat ke wajah berandalan itu. Membuat hidungnya berdarah dan beberapa giginya patah.

Berandalan lainnya berhenti melangkah saat menyaksikan kejadian yang cepat itu. Bukan hanya karena terkejut, tapi juga karena tatapan tajam menusuk yang dilemparkan gadis itu. Gadis itu menatap mereka seolah ia tak akan segan-segan menghabisi mereka apabila mereka berani mendekat walau hanya selangkah.

“Sebaiknya kalian pergi dari sini, jika tidak ingin menginap di rumah sakit malam ini,” katanya dingin.

Pada awalnya tak ada seorang pun dari mereka yang bergerak. Mereka tetap berdiri terpaku di tempat masing-masing. Namun, setelah keheningan melanda selama beberapa menit menegangkan yang terasa selamanya, akhirnya para berandalan itu angkat kaki sambil memaki-maki.

Saat mereka menghilang dari pandangan, sorak-sorai pun meledak di segala penjuru.

“Hore! Suzuki-sama memang hebat!”

“Suzuki-san keren sekali!”

“Syukurlah Suzuki-sama datang!”

“Terima kasih Suzuki! Kamu memang bisa diandalkan!”

Para murid dan guru semuanya menghampiri gadis itu yang kini sedang tersenyum lebar. Sementara Akito Matsuyama menghembuskan napas yang dari tadi tanpa sadar ditahannya.

Yukino Suzuki, itulah nama gadis pahlawan itu. Cantik, baik hati, pandai di bidang akademis maupun olah raga, serba bisa, dan ia adalah putri satu-satunya dari direktur Grup Suzuki yang kaya raya. Selain itu ia juga adalah ketua osis di Sekolah Jounan Joshi. Ya, ia memang gadis yang sempurna. Dan tentu saja itu membuatnya menjadi idola sekolah. Para siswi mengaguminya dan hampir setiap hari ada saja siswa, yang bahkan dari sekolah lain, yang menyatakan cinta padanya.

Suara siulan Kazuki membuyarkan lamunan Akito. “Suzuki-chan memang luar biasa! Yah, walau agak menakutkan. Kurasa aku harus berterima kasih padanya nanti.”

“Dan meminta maaf,” timpal Akito. Kazuki memandangnya tak mengerti. “Jangan lupa meminta maaf atas masalah yang kau timbulkan. Kalau tidak dia akan menghajarmu sebelum kau sempat berterima kasih,” lanjut Akito.

Bahkan sebelum Akito menyelesaikan kalimatnya, Kazuki sudah berbalik dan berjalan cepat ke pintu. Sepertinya ingin kabur lagi. Tapi sayang, kali ini ia juga kalah cepat. Saat ia membuka pintu, Yukino ternyata sudah berdiri di baliknya dengan wajah kesal. Begitu pula dengan teman-teman sekelas mereka yang lain.

Kazuki benar-benar sangat terkesiap. Itu terlihat dari kakinya yang nyaris tersandung sendiri saat melangkah mundur. “A,a…apa? Ke…kenap,pa… Bagaimana… Ta,tapi….” Kata-kata yang keluar dari mulutnya juga jadi tidak jelas.

“Ichiya-san,” panggil Yukino.

Kazuki langsung bersujud minta ampun. Cepat-cepat ia menceritakan kembali kejadian kemarin. Selesai mendengar cerita Kazuki, mereka semua tertawa kecuali Yukino. Ia menceramahi pemuda itu panjang lebar sementara Kazuki hanya bisa mendengarkan sambil menunduk.

Akito tersenyum kecil mengamati dua orang itu. Ia lalu mengedarkan pandangannya ke sepenjuru kelas. Seisi kelas juga merasa terhibur dengan tingkah mereka. Entah bagaimana, mereka menjadi semacam mood maker, tidak hanya di kelas, tapi juga di sekolah. Hampir tidak ada orang yang tidak mengenal mereka. Kazuki Ichiya, pemuda tampan si tukang terlambat dan tukang bolos yang secara mengherankan tetap bisa bertahan di peringkat 10 besar, dan Yukino Suzuki, sang tuan putri sempurna yang dikagumi semua orang.

“Dasar, Ichiya-kun ada-ada saja!”

“Iya, makanya Suzuki-san jadi sering memarahinya!”

Tiga orang gadis mulai membicarakan mereka.

“Tapi kalau dilihat-lihat mereka cocok ya?”

“Eh? Benar juga sih…”

“Kenapa tiba-tiba kau berkata begitu?”

“Aku hanya berpikir, apa orang yang disukai Suzuki-san itu Ichiya-kun.”

“Eeehhh?!” ujar dua gadis lainnya bersamaan. Gadis satunya cepat-cepat meletakkan telunjuknya di bibir, menyuruh kedua temannya mengecilkan suara. Setelah yakin mereka tak menarik perhatian, gadis itu mulai bercerita. “Kemarin saat akan pulang, aku tidak sengaja melihat Suzuki-san dan Gorou-senpai. Sepertinya senpai belum menyerah untuk mengajak Suzuki-san jalan dengannya.”

“Lagi? Ya ampun, berarti ini sudah yang ke-6 kali!”

“Suzuki-san menolaknya lagi?”

“Tentu saja! Tapi Gorou-senpai memang keras kepala. Ia mengajaknya untuk pacaran selama masa percobaan 1 bulan.”

“Lalu?” tanya dua temannya antusias nyaris bersamaan.

“Suzuki-san tetap menolaknya. Lalu Gorou-senpai kesal dan bertanya kenapa Suzuki-san menolaknya padahal ia tak pacaran dengan siapapun. Suzuki-san menjawab kalau ia punya orang yang disukainya!”

Kali ini bibir dua gadis lainnya terbuka membentuk huruf O namun tak ada suara yang keluar dari sana. Tanpa menunggu reaksi lebih lanjut dari temannya, gadis itu berkata, ”Menurutku orang itu adalah Ichiya-kun!”

Mereka semua serempak menoleh ke arah Yukino dan Kazuki.

“Mereka memang sudah akrab sejak SMP sih.” Salah satu temannya membuka suara. “Iya, kan? Menurutku mereka sangat serasi seperti pasangan dalam lukisan!” timpal gadis itu bersemangat. Tapi temannya yang lain justru menghela napas. “Padahal aku mengincar Ichiya-kun…”

Dua gadis lainnya menoleh cepat ke arah gadis itu. “Yang benar saja! Sejak kapan kau mengincarnya?” Ketiga gadis itu melanjutkan obrolan mereka sambil tertawa cekikikan. Mereka tak menyadari bahwa sejak tadi Akito mendengar pembicaraan mereka sambil tersenyum pahit.

[***]

Teng teng teng teng.

Bel sekolah berdentang empat kali menandakan waktu sudah menunjukan jam 4 sore. Semua kegiatan ekstrakulikuler sudah selesai, semua murid sudah harus pulang dan sekolah akan ditutup.

Yukino Suzuki berjalan cepat menyusuri lorong yang kini seluruhnya berwarna orange karena ditimpa cahaya matahari sore. Ia baru saja selesai memimpin rapat tentang pelaksanaan festival olah raga yang akan diadakan tiga minggu lagi.

Yukino melirik jam tangannya, kemudian mempercepat langkahnya. Apa dia masih menunggu? Yukino bertanya-tanya gelisah dalam hati. Ia sudah berjanji akan datang jam 3, tapi ia tak menyangka jika waktu rapat harus diperpanjang. Dan sekarang jadilah ia terlambat 1 jam. Yukino makin mempercepat langkahnya dan akhirnya ia berlari saat menaiki tangga menuju lantai 3.

“Ah, sampai juga!” bisiknya senang tanpa sadar saat ia sampai di depan pintu perpustakaan. Ia membuka pintu itu perlahan dan melongokkan kepalanya ke dalam. Tak ada seorang pun disana sejauh matanya bisa melihat. Yukino melangkah masuk, mencoba mencari di antara deretan rak-rak buku. Nihil.

Yukino menghembuskan napas lesu. Tentu saja dia sudah pulang! Sudah sesore ini mana mungkin dia tidak pulang! Apalagi aku terlambat 1 jam! Yukino memarahi dirinya sendiri dalam hati. Lagi-lagi ia tak bisa menepati janjinya.

Baru saja hendak berjalan menuju pintu, matanya menangkap sosok seseorang. Orang itu sedang berdiri menghadap rak buku yang ada di salah satu sudut perpustakaan.

Untitled-1

Senyum cerah langsung mengembang di bibir Yukino. Ternyata ia masih disini! Yukino melangkah mendekatinya. Tampaknya orang itu benar-benar tenggelam dalam isi buku yang sedang dibacanya sehingga tidak menyadari kehadiran Yukino.

Tanpa pikir panjang, Yukino langsung memeluk orang itu dari belakang. Membuat orang itu terkejut dan hampir menjatuhkan buku di tangannya.

“Yu,Yukino-san?!”

Yukino tidak menjawab panggilan orang itu, tapi ia mempererat pelukannya dan membenamkan wajahnya lebih dalam ke punggung orang itu.

“Syukurlah kau masih menungguku, Akito-kun.”